Jokomono Tirto Adhi Suryo




Raden Mas Jokomono Tirto Adhi Suryo (Djokomono Tirto Adhi Soerjo) lahir di Blora pada tahun 1880 dan wafat pada tanggal 17 Agustus 1918 dalam usia 38 tahun. Beliau adalah seorang tokoh pers dan tokoh kebangkitan nasional Indonesia, dikenal juga sebagai perintis persurat kabaran dan kewartawanan nasional Indonesia.

Tirto menerbitkan surat kabar Soenda Berita (1903 - 1905), Medan Prijaji (1907) dan Putri Hindia (1908). Tirto juga mendirikan Sarikat Dagang Islam.

Medan Prijaji dikenal sebagai surat kabar nasional pertama karena menggunakan bahasa Melayu (bahasa Indonesia) dan seluruh pekerja mulai dari pengasuhnya, percetakan, penerbitan dan wartawannya adalah pribumi Indonesia asli.

Tirto adalah orang pertama yang menggunakan surat kabar sebagai alat propaganda dan pembentuk pendapat umum. Dia juga berani menulis kecaman -kecaman pedas terhadap pemerintahan kolonial Belanda pada masa itu.

Akhirnya Tirto ditangkap dan disingkirkan dari Pulau Jawa dan dibuang ke Pulau Bacan, dekat Halmahera (Provinsi Maluku Utara). Setelah selesai masa pembuangannya, Tirto kembali ke Batavia, dan meninggal dunia pada 17 Agustus 1918.

Kisah perjuangan dan kehidupan Tirto diangkat oleh Pramoedya Ananta Toer dalam Tetralogi Buru dan Sang Pemula.

Takashi Shiraishi lewat buku Zaman Bergerak menyebut Tirto Adhi Suryo sebagai orang bumiputra pertama yang menggerakkan bangsa melalui bahasanya lewat Medan Prijaji.

Tirto Adhi Suryo juga mendapat tempat yang banyak pula dalam laporan - laporan pejabat - pejabat Hindia Belanda, terutama laporan Dr. Rinkes. Ini disebabkan karena Tirto memegang peranan pula dalam pembentukan Sarekat Dagang Islam di Surakarta bersama Haji Samanhudi, yang merupakan asal mula Sarikat Islam yang kemudian berkembang ke seluruh Indonesia.


Anggaran Dasar Sarikat Islam yang pertama mendapat persetujuan Tirto Adi Suryo sebagai ketua Sarikat Islam di Bogor dan sebagai redaktur surat kabar Medan Prijaji di Bandung.

Ketika menulis buku kenang - kenangannya pada tahun 1952, Ki Hajar Dewantara mencatat tentang diri Tirtohadisoerjo sebagai berikut : 

"Kira-kira pada tahun berdirinya Boedi Oetomo ada seorang wartawan modern, yang menarik perhatian karena lancarnya dan tajamnya pena yang beliau pegang. Yaitu almarhum R.M. Djokomono, kemudian bernama Tirtohadisoerjo, bekas murid STOVIA yang waktu itu bekerja sebagai redaktur harian Bintang Betawi (yang kemudian bernama Berita Betawi) lalu memimpin Medan Prijaji dan Soeloeh Pengadilan. Beliau boleh disebut pelopor dalam lapangan journalistik"

Sudarjo Cokrosisworo dalam bukunya Sekilas Perjuangan Suratkabar (terbit November 1958) menggambarkan Tirtohadisoerjo sebagai seorang pemberani :

"Dialah wartawan Indonesia yang pertama - tama menggunakan surat kabar sebagai pembentuk pendapat umum, dengan berani menulis kecaman - kecaman pedas terhadap pihak kekuasaan dan menentang paham-paham kolot. Kecaman hebat yang pernah ia lontarkan terhadap tindakan - tindakan seorang kontrolir, menyebabkan Tirtohadisoerjo disingkirkan dari Jawa, dibuang ke Pulau Bacan"

Pada 1973, pemerintah mengukuhkannya sebagai Bapak Pers Nasional. Pada tanggal 3 November 2006, Tirto mendapat gelar sebagai Pahlawan Nasional melalui Keppres RI no 85/ TK/2006.