Tuanku Tambusai




Tuanku Tambusai lahir di Tambusai, Rokan Hulu, Riau pada tanggal 5 November 1784 dan wafat di Negeri Sembilan, Malaya Britania (Malaysia) pada tanggal 12 November 1882 dalam usia 98 tahun. Beliau adalah salah seorang tokoh Paderi terkemuka.

Tuanku Tambusai lahir di Dalu - dalu, nagari Tambusai, Rokan Hulu, Riau. Dalu - dalu merupakan salah satu desa pedagang Minangkabau yang didirikan di tepi sungai Sosah, anak sungai Rokan.

Tuanku Tambusai memiliki nama kecil Muhammad Saleh putra dari pasangan perantau Minang, Tuanku Imam Maulana Kali dan Munah. Setelah pulang haji Tambusai dipanggil dengan sebutan Tuanku Haji Muhammad Saleh. Ayahnya berasal dari nagari Rambah dan merupakan seorang guru agama Islam.

Oleh Raja Tambusai ayahnya diangkat menjadi imam dan kemudian menikah dengan perempuan setempat. Ibunya berasal dari nagari Tambusai yang bersuku Kandang Kopuh. Sesuai dengan tradisi Minang yang matrilineal, suku ini diturunkannya kepada Tuanku Tambusai.

Sewaktu kecil Muhammad Saleh telah diajarkan ayahnya ilmu bela diri, termasuk ketangkasan menunggang kuda dan tata cara bernegara.

Untuk memperdalam ilmu agama, Tuanku Tambusai pergi belajar ke Bonjol dan Rao di Sumatera Barat. Disana beliau banyak belajar dengan ulama - ulama Islam yang berpaham Paderi, hingga mendapatkan gelar fakih.


Ajaran Paderi begitu memikat dirinya, sehingga ajaran ini disebarkan pula di tanah kelahirannya. Disini ajarannya dengan cepat diterima luas oleh masyarakat, sehingga beliau banyak mendapatkan pengikut. Semangatnya untuk menyebarkan dan melakukan pemurnian Islam, mengantarkannya untuk berperang mengislamkan masyarakat di tanah Batak yang masih banyak menganut pelbegu.

Perjuangannya dimulai di daerah Rokan Hulu dan sekitarnya dengan pusat di Benteng Dalu - dalu. Kemudian beliau melanjutkan perlawanan ke wilayah Natal pada tahun 1823.

Tahun 1824 beliau memimpin pasukan gabungan Dalu - dalu, Lubuksikaping, Padanglawas, Angkola, Mandailing, dan Natal untuk melawan Belanda.

Beliau sempat menunaikan ibadah haji dan juga diminta oleh Tuanku Imam Bonjol untuk mempelajari perkembangan Islam di Tanah Arab.

Dalam kurun waktu 15 tahun, Tuanku Tambusai cukup merepotkan pasukan Belanda, sehingga sering meminta bantuan pasukan dari Batavia. Berkat kecerdikannya, benteng Belanda Fort Amerongen dapat dihancurkan. Bonjol yang telah jatuh ke tangan Belanda dapat direbut kembali walaupun tidak bertahan lama.

Tuanku Tambusai tidak saja menghadapi Belanda, tetapi juga sekaligus pasukan Raja Gedombang (regent Mandailing) dan Tumenggung Kartoredjo, yang berpihak kepada Belanda.

Oleh Belanda beliau digelari De Padrische Tijger van Rokan (Harimau Paderi dari Rokan) karena amat sulit dikalahkan, tidak pernah menyerah dan tidak mau berdamai dengan Belanda. Keteguhan sikapnya diperlihatkan dengan menolak ajakan Kolonel Elout untuk berdamai.

Pada tanggal 28 Desember 1838, benteng Dalu - dalu jatuh ke tangan Belanda. Lewat pintu rahasia beliau meloloskan diri dari kepungan Belanda dan sekutu - sekutunya.


Tuanku Tambusai mengungsi dan wafat di Seremban, Negeri Sembilan, Malaysia pada tanggal 12 November 1882.

Karena jasa - jasanya menentang penjajahan Hindia - Belanda, pada tahun 1995 pemerintah mengangkatnya sebagai Pahlawan Nasional.