Tengku Amir Hamzah





Tengku Amir Hamzah (Tengkoe Amir Hamzah Pangeran Indra Poetera) lahir di Tanjung Pura, Langkat, Sumatera Timur pada tanggal 28 Februari 1911 dan wafat di Kwala Begumit, Binjai, Langkat pada tanggal 20 Maret 1946 dalam usia 35 tahun.

Amir Hamzah lahir dengan nama Tengkoe Amir di Tanjung Pura, Langkat, Sumatera Utara, putra bungsu dari Wakil Sultan Tengkoe Moehammad Adil dari istri ketiganya, Tengkoe Mahdjiwa. Tengkoe Moehammad Adil merupakan Wakil Sultan untuk Luhak Langkat Hulu yang berkedudukan di Binjai. Berdasarkan silsilah keluarga istana Kesultanan Langkat, Amir Hamzah adalah generasi ke-10 dari Sultan Langkat. Melalui ayahnya, beliau terkait dengan Sultan Langkat kala itu, Machmoed. Kakak Amir Hamzah bernama Abdoellah Hod (Abdullah Hod). Amir kemudian mengambil nama kakeknya, Tengkoe Hamzah, sebagai nama keduanya, sehingga disebut sebagai Amir Hamzah.

Meskipun seorang anak bangsawan beliau sering bergaul dalam lingkungan non-bangsawan. Amir Hamzah menghabiskan masa kecil di kampung halamannya. Oleh teman sepermainannya, Amir kecil biasa dipanggil dengan sebutan "Tengku Busu" (Tengku yang bungsu).

Said Husny, sahabat Amir di masa kecilnya menggambarkan bahwa Amir adalah anak manis yang menjadi kesayangan semua orang. Diketahui bahwa Amir dididik dalam prinsip - prinsip Islam, seperti mengaji, fikih, dan tauhid, dan belajar di Masjid Azizi di Tanjung Pura dari usia muda. Dia tetap seorang Muslim yang taat sepanjang hidupnya.

Pada tahun 1924/1925 Amir lulus dari sekolah dasarnya di Langkat dan pindah ke Medan untuk belajar di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO, sekolah menengah pertama) di sana. Setelah menyelesaikan studinya sekitar dua tahun kemudian beliau memasuki hubungan formal dengan sepupunya dari pihak ibunya, Aja Bun. Husny menulis bahwa keduanya sengaja dipertemukan dan dijodohkan untuk menikah oleh orang tua mereka.

Karena orang tuanya mengizinkannya untuk menyelesaikan studinya di Jawa, Amir Hamzah kemudian pergi ke ibukota kolonial Hindia - Belanda di Batavia (sekarang Jakarta) untuk menyelesaikan studinya. Amir Hamzah pergi ke Pulau Jawa sendirian dalam perjalanan di laut selama tiga hari di kapal Plancus.

Setelah tiba di Batavia beliau masuk di Christelijk MULO Menjangan, untuk menyelesaikan tahun SMP terakhirnya. Di Batavia Amir Hamzah juga terlibat dalam organisasi sosial Jong Sumatera dan saat periode ini beliau menulis puisi pertamanya.

Husny menulis bahwa Amir patah hati setelah menemukan Aja Bun telah menikah dengan pria lain tanpa sepengetahuan Amir Hamzah (mereka berdua tidak pernah berbicara lagi).

Setelah menyelesaikan sekolah menengah dan kepulangan singkat ke Sumatera, Amir Hamzah melanjutkan sekolahnya ke Algemene Middelbare School (AMS, sekolah menengah atas) yang dioperasikan Budi Utomo di Surakarta, Jawa Tengah, di mana beliau mempelajari Sastra Timur dan bahasa, termasuk bahasa Jawa, Sansekerta , dan Arab.


Lebih suka menyendiri ketimbang hiruk - pikuknya asrama Amir Hamzah lebih memilih menyewa kamar di sebuah rumah pribadi yang dimiliki oleh residen Surakarta.

Kemudian beliau bertemu dengan beberapa orang yang kelak menjadi penulis, termasuk Armijn Pane dan Achdiat Karta Mihardja, mereka segera menemukan bahwa Amir adalah seorang pelajar yang ramah, rajin dan dengan catatan lengkap dan kamar tidur bersih serta selimut dilipat dengan baik, (Mihardja kemudian bercerita, bahwa "lalat jang kesasar akan dapat tergelincir atasnya"). Beliau juga seorang romantis, cenderung berpikir sedih di bawah cahaya lampu dan mengisolasi diri dari teman - teman sekelasnya.

Di Surakarta Amir Hamzah bergabung dengan gerakan nasionalis dan bertemu dengan sesama perantau dari Sumatera untuk mendiskusikan masalah sosial rakyat Melayu Nusantara di bawah kekuasaan kolonial Belanda.

Meskipun pemuda berpendidikan kala itu pada umumnya lebih memilih berbicara menggunakan bahasa Belanda, beliau bersikeras bercakap dengan bahasa Melayu.

Tahun 1930 Amir Hamzah menjadi kepala cabang dari Indonesia Moeda di Surakarta, menyampaikan pidatonya dalam Kongres Pemuda 1930 dan mengabdi sebagai editor majalah organisasi itu, "Garoeda Merapi".

Di sekolah dia kemudian bertemu dan jatuh cinta dengan Sundari (Ilik Soendari), seorang gadis Jawa yang hampir seusia dengannya, putri Raden Mas Kusumodiharjo (Koesoemodihardjo). Yang pada masa itu adalah salah satu dari sedikit siswa perempuan di sekolah tersebut dan rumahnya berada di dekat salah satu rumah yang pernah ditinggali Amir. Keduanya semakin dekat, Amir Hamzah mengajari Sundari bahasa Arab dan Sundari mengajarinya bahasa Jawa. Mereka bertemu setiap hari dan bercakap - cakap tentang berbagai topik. 

Ibunda Amir meninggal pada tahun 1931, kemudian ayahnya juga meninggal setahun setelahnya, pendidikan Amir pun tidak bisa dibiayai lagi. Setelah studi AMS-nya rampung, beliau ingin terus belajar di sekolah hukum di Batavia. Karena itu, beliau menulis kepada saudaranya, Jakfar yang mengatur agar biaya sisa studinya dibayar oleh Sultan Langkat.

Pada tahun 1932 Amir Hamzah mampu kembali ke Batavia dan memulai studi hukumnya, mengambil pekerjaan paruh waktu sebagai guru.


Pada awalnya, hubungannya dengan Sundari dilanjutkan melalui surat, meskipun Sundari segera melanjutkan studinya di Lembang, sebuah kota yang jauh lebih dekat jaraknya ke Batavia daripada Surakarta, hal ini memungkinkan keduanya untuk bertemu diam - diam. Ketika orangtua Sundari mengetahui hubungan mereka, Amir Hamzah dan Sundari pun dilarang untuk bertemu.

Di tahun itu dua puisi pertama Amir, "Soenji" (Sunyi) dan "Maboek" (Mabuk), diterbitkan dalam edisi Maret majalah Timboel. Delapan karyanya yang lain turut dipublikasikan, termasuk sebuah syair berdasarkan Hikayat Hang Tuah, tiga puisi lainnya, dua potong puisi prosa dan dua cerita pendek, puisi itu kembali diterbitkan dalam Timboel, sementara prosa tersebut terbit dalam majalah Pandji Poestaka.

Sekitar September 1932 Armijn Pane, atas dorongan dari Sutan Takdir Alisjahbana, editor rubrik “Memadjoekan Sastera” (Memajukan Sastra) rubrik sastra Pandji Poestaka, mengundang Amir Hamzah untuk membantu mereka mendirikan majalah sastra independen. Beliau menerima dan ditugasi menulis surat untuk meminta kiriman tulisan. Sejumlah lima puluh surat dikirimkan Amir Hamzah kepada penulis - penulis yang sudah dikenal kala itu, termasuk empat puluh dikirimkan ke para kontributor "Memadjoekan Sastera".

Setelah beberapa bulan persiapan, edisi awal diterbitkan pada bulan Juli tahun 1933, dengan judul Poedjangga Baroe (Pujangga Baru). Majalah baru ini ada di bawah kendali editorial Armijn dan Alisyahbana, sementara Amir Hamzah menerbitkan hampir semua tulisan - tulisannya yang berikutnya di sana.

Pada pertengahan 1933 Amir Hamzah dipanggil kembali ke Langkat, di mana Sultan Langkat memberitahukan dua syarat yang harus beliau penuhi untuk melanjutkan studinya, yaitu menjadi siswa yang rajin dan meninggalkan gerakan kemerdekaan Indonesia. Meskipun menghadapi penolakan Sultan Langkat, Amir Hamzah justru menjadi terlibat lebih jauh dalam gerakan Nasionalis, membawa dia ke bawah pengawasan Belanda yang semakin meningkat.

Amir Hamzah terus melanjutkan untuk menerbitkan karyanya dalam Poedjangga Baroe, termasuk serangkaian lima artikel tentang Sastra Timur dari bulan Juni sampai Desember 1934 dan terjemahan dari Bhagawad Gita dari 1933 sampai 1935. Namun studi hukumnya menjadi tertunda, bahkan belum merampungkan studinya pada tahun 1937.

Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tahun 1945 beliau menjabat sebagai wakil pemerintah di Langkat. Namun siapa nyana, pada tahun pertama Negara Indonesia yang baru lahir, beliau meninggal dalam peristiwa konflik sosial berdarah di Sumatera yang disulut oleh faksi dari Partai Komunis Indonesia dan dimakamkan di sebuah kuburan massal.

Karya Hamzah, khususnya "Padamu Jua" diajarkan di sekolah - sekolah Indonesia. Karyanya juga salah satu inspirasi untuk drama panggung posmodern 1992 Afrizal Malna.

Pada tahun 1969 beliau secara anumerta dianugerahi Satya Lencana Kebudayaan dan Piagam Anugerah Seni.

Sebuah taman dinamakan untuknya, Taman Amir Hamzah, yang berlokasi di Jakarta di dekat Monumen Nasional.

Sebuah masjid di Taman Ismail Marzuki yang dibuka untuk umum pada tahun 1977, juga dinamakan untuknya.

Beberapa jalan diberi nama untuk Amir Hamzah, termasuk di Medan, Mataram dan Surabaya.

Pada tahun 1975 Amir Hamzah dinyatakan sebagai salah satu Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia, No. 106/TK/1975, tanggal 3 November 1975.