Rasuna Said





Hajjah Rangkayo Rasuna Said lahir di desa Panyinggahan, Maninjau, Agam, Sumatera Barat pada tanggal 14 September 1910 dan wafat di Jakarta pada tanggal 2 November 1965 dalam usia 55 tahun. 

Beliau adalah salah seorang Pejuang Kemerdekaan Indonesia dan juga merupakan Pahlawan Nasional Indonesia. Seperti Kartini beliau juga memperjuangkan adanya persamaan hak antara pria dan wanita.

Hj. R. Rasuna Said merupakan keturunan bangsawan Minang. Ayahnya bernama Muhamad Said, seorang saudagar Minangkabau dan bekas aktivis pergerakan.

Setelah menamatkan jenjang pendidikan Sekolah Dasar (SD), Rasuna Said remaja dikirimkan sang ayah untuk melanjutkan pendidikan di pesantren Ar-Rasyidiyah, saat itu beliau merupakan satu - satunya santri perempuan. Rasuna Said dikenal sebagai sosok yang pandai, cerdas dan pemberani.

Rasuna Said kemudian melanjutkan pendidikan di Diniyah Putri Padang Panjang, dan bertemu dengan Rahmah El Yunusiyyah, seorang tokoh gerakan Thawalib. Gerakan Thawalib adalah gerakan yang dibangun kaum reformis islam di Sumatera Barat. Banyak pemimpin gerakan ini dipengaruhi oleh pemikiran Nasionalis - Islam Turki, Mustafa Kemal Atatürk.

Rasuna Said sangatlah memperhatikan kemajuan dan pendidikan kaum wanita beliau sempat mengajar di Diniyah Putri sebagai guru. Namun pada tahun 1930, Rasuna Said berhenti mengajar karena memiliki pandangan bahwa kemajuan kaum wanita tidak hanya bisa didapat dengan mendirikan sekolah, tapi harus disertai perjuangan politik. Rasuna Said ingin memasukkan pendidikan politik dalam kurikulum sekolah Diniyah School Putri, tapi ditolak.


Rasuna Said kemudian mendalami agama pada Haji Rasul atau Dr. H. Abdul Karim Amrullah yang mengajarkan pentingnya pembaharuan pemikiran Islam dan kebebasan berfikir yang nantinya banyak mempengaruhi pandangan Rasuna Said. 

Kontroversi poligami pernah ramai dan menjadi polemik di ranah Minang tahun 1930-an. Ini berakibat pada meningkatnya angka kawin cerai, beliau menganggap kelakuan ini bagian dari pelecehan terhadap kaum wanita.

Awal perjuangan politik Rasuna Said dimulai dengan beraktifitas di Sarekat Rakyat (SR) sebagai Sekretaris cabang.

Rasuna Said kemudian juga bergabung dengan Soematra Thawalib dan mendirikan Persatoean Moeslimin Indonesia (PERMI) di Bukittinggi pada tahun 1930.

Rasuna Said juga ikut mengajar di sekolah - sekolah yang didirikan PERMI dan kemudian mendirikan Sekolah Thawalib di Padang dan memimpin Kursus Putri dan Normal Kursus di Bukittinggi.

Rasuna Said sangat mahir dalam berpidato mengecam pemerintahan Belanda. Rasuna Said juga tercatat sebagai wanita pertama yang terkena hukum Speek Delict, yaitu hukum kolonial Belanda yang menyatakan bahwa siapapun dapat dihukum karena berbicara menentang Belanda. Rasuna Said sempat di tangkap bersama teman seperjuangannya Rasimah Ismail dan dipenjara pada tahun 1932 di Semarang. Setelah keluar dari penjara, Rasuna Said meneruskan pendidikannya di Islamic College pimpinan KH. Mochtar Yahya dan Dr. Kusuma Atmaja.

Rasuna Said dikenal dengan tulisan - tulisannya yang tajam dan pada tahun 1935 Rasuna menjadi pemimpin redaksi di sebuah majalah, Raya. Majalah ini dikenal radikal, bahkan tercatat menjadi tonggak perlawanan di Sumatera Barat. Namun polisi rahasia Belanda (PID) mempersempit ruang gerak Rasuna dan kawan - kawan. Sedangkan tokoh - tokoh PERMI yang diharapkan berdiri melawan tindakan kolonial ini, justru tidak bisa berbuat apapun. Rasuna sangat kecewa, akhirnya beliau memilih pindah ke Medan, Sumatera Utara.

Pada tahun 1937 di Medan, Rasuna mendirikan perguruan putri. Untuk menyebarluaskan gagasan - gagasannya beliau membuat majalah mingguan bernama Menara Poeteri. Slogan koran ini mirip dengan slogan Bung Karno, "Ini dadaku, mana dadamu". Koran ini banyak berbicara soal perempuan, namun sasaran pokoknya adalah memasukkan kesadaran pergerakan, yaitu antikolonialisme di tengah - tengah kaum perempuan. Rasuna Said mengasuh rubrik "Pojok", beliau sering menggunakan nama samaran Seliguri, yang konon kabarnya merupakan nama sebuah bunga. Tulisan - tulisan Rasuna dikenal tajam, kupasannya mengena sasaran dan selalu mengambil sikap lantang antikolonial.

Sebuah koran di Surabaya, Penyebar Semangat, pernah menulis perihal Menara Poetri ini. Akan tetapi, koran Menara Poetri tidak berumur panjang. Persoalannya sebagian besar pelanggannya tidak membayar tagihan korannya. Konon, hanya 10 persen pembaca Menara Poetri yang membayar tagihan. Karena itu, Menara Poetri pun ditutup. Pada saat itu, memang banyak majalah atau koran yang tutup karena persoalan pendanaan. Rasuna memilih pulang ke kampung halaman, Sumatera Barat.


Pada masa pendudukan Jepang, Rasuna Said ikut serta sebagai pendiri organisasi pemuda Nippon Raya di Padang yang kemudian dibubarkan oleh Pemerintah Jepang.

Setelah kemerdekaan Indonesia, Rasuna Said aktif di Badan Penerangan Pemuda Indonesia dan Komite Nasional Indonesia.

Rasuna Said duduk dalam Dewan Perwakilan Sumatera mewakili daerah Sumatera Barat setelah Proklamasi Kemerdekaan.

Beliau diangkat sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Serikat (DPR RIS), kemudian menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sampai akhir hayatnya, 2 November 1965 di Jakarta.

Hj. R. Rasuna Said meninggalkan seorang putri (Auda Zaschkya Duski) dan 6 cucu (Kurnia Tiara Agusta, Anugerah Mutia Rusda, Moh. Ibrahim, Moh. Yusuf, Rommel Abdillah dan Natasha Quratul’Ain).

Hj. R. Rasuna Said dimakamkan di Taman Makam Pahlawan, Kalibata, Jakarta.

Namanya sekarang diabadikan sebagai salah satu nama jalan protokol di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan.

Hj. R. Rasuna Said diangkat sebagai salah satu Pahlawan Nasional berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No. 084/TK/Tahun 1974 tanggal 13 Desember 1974.