Sutan Syahrir





Sutan Syahrir lahir di Padang Panjang, Sumatera Barat pada tanggal 5 Maret 1909 dan wafat di Zürich, Swiss pada tanggal 9 April 1966 dalam usia 57 tahun.

Sutan Syahrir lahir dari pasangan Mohammad Rasad gelar Maharaja Soetan bin Soetan Leman gelar Soetan Palindih dan Puti Siti Rabiah yang berasal dari Koto Gadang, Agam, Sumatera Barat. Ayahnya menjabat sebagai penasehat sultan Deli dan kepala jaksa (landraad) di Medan. Sutan Syahrir bersaudara seayah dengan Rohana Kudus, aktivis serta wartawan wanita yang terkemuka.

Sutan Syahrir mengenyam sekolah dasar (ELS) dan sekolah menengah (MULO) terbaik di Medan dan membetahkannya bergaul dengan berbagai buku - buku asing dan ratusan novel Belanda. Malamnya beliau mengamen di Hotel De Boer (kini Hotel Natour Dharma Deli), hotel khusus untuk tamu - tamu kulit putih.

Pada 1926 Sutan Syahrir selesai dari MULO kemudian masuk sekolah lanjutan atas (AMS) di Bandung, sekolah termahal di Hindia - Belanda saat itu. Di sekolah itu beliau bergabung dalam Himpunan Teater Mahasiswa Indonesia (Batovis) sebagai sutradara, penulis skenario dan juga aktor. Hasil mentas itu digunakan untuk membiayai sekolah yang didirikannya, Tjahja Volksuniversiteit, Cahaya Universitas Rakyat.

Di kalangan siswa sekolah menengah (AMS) Bandung, Syahrir menjadi seorang bintang, beliau aktif dalam klub debat di sekolahnya. Syahrir juga berkecimpung dalam aksi pendidikan melek huruf secara gratis bagi anak - anak dari keluarga tak mampu dalam Tjahja Volksuniversiteit. Aksi sosial Syahrir kemudian menjurus jadi politis.

Ketika para pemuda masih terikat dalam perhimpunan - perhimpunan kedaerahan, pada tanggal 20 Februari 1927, Syahrir termasuk dalam sepuluh orang penggagas pendirian himpunan pemuda nasionalis, Jong Indonesië. Perhimpunan itu kemudian berubah nama jadi Pemuda Indonesia yang menjadi motor penyelenggaraan Kongres Pemuda Indonesia. Kongres monumental yang mencetuskan Sumpah Pemuda pada 1928. 

Sebagai siswa sekolah menengah, Syahrir sudah dikenal oleh polisi Bandung sebagai pemimpin redaksi majalah himpunan pemuda nasionalis. Dalam kenangan seorang temannya di AMS, Syahrir kerap lari digebah polisi karena membandel membaca koran yang memuat berita pemberontakan PKI 1926. Koran yang ditempel pada papan dan selalu dijaga polisi agar tak dibaca para pelajar sekolah. 

Sutan Syahrir melanjutkan pendidikan ke negeri Belanda di Fakultas Hukum, Universitas Amsterdam. Di sana, Syahrir mendalami sosialisme secara sungguh - sungguh dan berkutat dengan teori - teori sosialisme. Beliau akrab dengan Salomon Tas, Ketua Klub Mahasiswa Sosial Demokrat dan istrinya Maria Duchateau, yang kelak dinikahi Syahrir, meski sebentar (Kelak Syahrir menikah kembali dengan Poppy, kakak tertua dari Soedjatmoko dan Miriam Boediardjo).


Dalam tulisan kenangannya, Salomon Tas berkisah perihal Syahrir yang mencari teman - teman radikal, berkelana kian jauh ke kiri, hingga ke kalangan anarkis yang mengharamkan segala hal berbau kapitalisme dengan bertahan hidup secara kolektif - saling berbagi satu sama lain kecuali sikat gigi.

Demi lebih mengenal dunia proletar dan organisasi pergerakannya, Syahrir pun bekerja pada Sekretariat Federasi Buruh Transportasi Internasional.

Selain menceburkan diri dalam sosialisme, Syahrir juga aktif dalam Perhimpunan Indonesia (PI) yang ketika itu dipimpin oleh Mohammad Hatta.

Di awal 1930, pemerintah Hindia - Belanda kian bengis terhadap organisasi pergerakan nasional, dengan aksi razia dan memenjarakan pemimpin pergerakan di tanah air, yang berbuntut pembubaran Partai Nasional Indonesia (PNI) oleh aktivis PNI sendiri.

Berita tersebut menimbulkan kekhawatiran di kalangan aktivis PI di Belanda. Mereka selalu menyerukan agar pergerakan jangan jadi melempem lantaran pemimpinnya dipenjarakan, deruan itu mereka sampaikan lewat tulisan.

Bersama Hatta, keduanya rajin menulis di Daulat Rakjat, majalah milik Pendidikan Nasional Indonesia dan memisikan pendidikan rakyat harus menjadi tugas utama pemimpin politik.

Beliau adalah seorang politikus dan Perdana Menteri pertama Indonesia Keturunan bugis yang menjabat dari 14 November 1945 hingga 20 Juni 1947 serta mendirikan Partai Sosialis Indonesia pada tahun 1948. 

Tahun 1955 PSI gagal mengumpulkan suara dalam pemilihan umum pertama di Indonesia.

Setelah kasus PRRI tahun 1958, hubungan Sutan Syahrir dan Presiden Sukarno memburuk sampai akhirnya PSI dibubarkan tahun 1960.

Tahun 1962 hingga 1965, Syahrir ditangkap dan dipenjarakan tanpa diadili sampai menderita stroke. Setelah itu beliau diijinkan untuk berobat ke Zürich Swis, salah seorang kawan dekat yang pernah menjabat wakil ketua PSI Sugondo Djojopuspito menghantarkannya di Bandara Kemayoran dan Syahrir memeluk Sugondo dengan air mata. Dan kemudian meninggal di swiss dalam pengasingan sebagai tawanan politik.


Sutan Syahrir dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta.

Sutan Syahrir ditetapkan sebagai salah seorang Pahlawan Nasional Indonesia pada tanggal 9 April 1966 melalui Keppres nomor 76 tahun 1966.