Ranggong Daeng Romo





Ranggong Daeng Romo lahir di kampung Bone - Bone, Polongbangkeng, Sulawesi Selatan pada tahun 1915 dan wafat pada tahun 1947 dalam usia 32 tahun.

Beliau menempuh pendidikan di Hollandsch Inlandsch School dan Taman Siswa di Makassar setelah sebelumnya menimba ilmu agama di salah satu pesantren di Cikoang.

Kemudian bekerja sebagai pegawai sebuah perusahaan pembelian padi milik pemerintah militer Jepang ketika menduduki tanah Sulawesi. Pada waktu itu pemerintah Jepang menerapkan kebijakan yang mengharuskan penduduk pribumi untuk menyerahkan hasil panennya berupa padi kepada tentara Jepang. Karena merasa tak tega beliau memutuskan untuk mengundurkan diri dan meninggalkan jabatannya tersebut.

Sebagaimana halnya dengan para pemuda lainnya pada masa kependudukan Jepang, Ranggong Daeng pun memasuki barisan pemuda Seinendan. Tak lama setelah memutuskan bergabung dalam kelompok tersebut beliau diangkat menjadi pemimpin Seinendan di Bontokandatto. 

Para pemuda sangat terbantu dengan pelatihan yang diberikan oleh tentara Jepang di Seinendan. Pelatihan itu sangat berguna mempersiapkan para pemuda dalam kemiliteran yang tidak pernah diperoleh pada zaman penjajahan Belanda. 

Proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 mengharuskan pembentukan pemerintah RI di Sulawesi Selatan. Namun sayang, sebelum pemerintahan itu terbentuk tentara Jepang telah terlebih dahulu dilucuti oleh pasukan Australia yang mendarat di Makassar pada akhir September 1945.


Kedatangan pasukan dari negeri kangguru tersebut juga dibarengi dengan aparat pemerintah Belanda yang bernama NICA (Nederlandsch Indosche Civiel Adminitration). NICA bermaksud untuk kembali menguasai Indonesia. Tentu saja hal itu mendapat perlawanan dari segenap masyarakat Sulawesi Selatan, terutama para pemuda. Mereka kemudian mendirikan berbagai organisasi perjuangan untuk menghadapi tentara Belanda itu. Gerakan Muda Bajeng (GMB) merupakan salah satu organisasi yang didirikan kelompok pemuda tersebut. Organisasi yang didirikan di Palekko, Polongbangkeng pada pertengahan Oktober 1945 itu kemudian dalam bidang kemiliteran dipimpin oleh Ranggong Daeng Romo.

Pada waktu memimpin militer dalam organisasi tersebut beliau sering terlibat dalam sejumlah pertempuran melawan pasukan Belanda. Seperti pada Februari 1946, Ranggong memimpin serangan terhadap kedudukan Belanda di Pappa Takalar dan Bonto Cender.

Laskar Lipan Bajeng kemudian dipilih sebagai nama baru pengganti GMB, posisi sebagai pemimpin tertinggi dipercayakan pada Ranggong Daeng Romo. 

Polongbangkeng menjadi pusat perlawanan dan pusat kegiatan para pemuda Makassar yang terdesak. Para pemimpin berbagai laskar pada bulan Juli 1946 berkumpul di Polongbangkeng untuk menghadiri sebuah pertemuan. Hasil dari pertemuan tersebut kemudian dicetuskan ide pembentukan Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi (Lapris). Ranggong Daeng Romo kemudian diangkat sebagai panglima Lapris, laskar yang terbentuk dari gabungan organisasi - organisasi perjuangan se-Sulawesi Selatan.

Sebagai panglima beliau berusaha meningkatkan kemampuan tempur di Komara. Serangan terhadap tentara Belanda pun dapat ditingkatkan dengan terbentuknya Lapris. Belanda membalas serangan tersebut dengan meningkatkan operasi - operasi militer. Pasukan khusus di bawah komando Kapten Raymond Westerling didatangkan. Pasukan yang datang pada akhir tahun 1946 itu dikenal sangat kejam. Mereka tak segan membunuh rakyat tanpa pandang bulu, korban jiwa dari kalangan rakyat pun berjatuhan. Secara diam - diam, untuk membantu perjuangan para pemuda Makassar, beberapa kesatuan Tentara Rakyat Indonesia (TRI) memasuki wilayah Sulawesi Selatan. Mereka kemudian menggelar pertemuan bertempat di Pacekke untuk membentuk sebuah divisi pasukan yang dinamakan Divisi Hasanudin pada awal bulan Januari 1947. Ranggong Daeng Romo kemudian membantu pertemuan itu agar berjalan aman dengan mengikat pasukan Belanda di tempat lain.

Serangan pasukan Lapris terhadap tentara Belanda dilakukan di selatan Makassar. Semenjak itu, pertempuran - pertempuran sengit pun terus terjadi.

Pada 23 Januari 1947 meletus pertempuran di Batua, dalam kejadian tersebut banyak tokoh Lapris yang terbunuh atau tertangkap. Kubu Lapris yang terus menerus mendapat serangan dari pasukan Belanda mulai kehilangan kekuatannya. Terlebih saat markas besar Lapris yang berkedudukan di Langgese tercium oleh Belanda. 


Ranggong Daeng kemudian merencanakan untuk memindahkan markas ke tempat lain yang lebih aman untuk menyelamatkan pasukan yang tersisa.

Pada 27 Februari 1947 pemindahan pun dilakukan, namun bersamaan dengan itu, Belanda kembali melancarkan serangan. Ranggong Daeng pun terkepung bersama pasukannya. Walaupun pasukannya menganjurkan dia agar meloloskan diri namun hal itu tidak dilakukannya. Sebagai panglima beliau tak tega meninggalkan pasukannya begitu saja. Lapris akhirnya kehilangan sang panglima.

Jenazahnya dikebumikan di Bangkala (Mo’mara).

Atas jasa - jasa beliau kepada negara, Ranggong Daeng Romo dianugerahi gelar Pahlawan Nasional berdasarkan SK Presiden RI No.109/TK/Tahun 2001, tanggal 3 November 2001.