Radin Inten II




Radin Inten II lahir di Lampung pada tahun 1834 dan wafat di Lampung pada tanggal 5 Oktober 1858 dalam usia 24 tahun.

Berdasarkan penelitian, Radin Inten II gelar Kesuma Ratu masih keturunan Fatahillah yang dikenal sebagai Sunan Gunung Jati dari perkawinannya dengan Putri Sinar Alam, seorang putri dari Minak Raja Jalan Ratu dari Keratuan Pugung, cikal - bakal pemegang kekuasaan di keratuan tersebut.

Radin Inten II adalah putra tunggal Radin Imba II gelar Kesuma Ratu (1828  - 1834). Radin Imba II sendiri putra sulung Radin Inten I gelar Dalam Kesuma Ratu IV (1751 - 1828), dengan demikian, Radin Inten II adalah cucu dari Radin Inten I.

Pada saat Radin Inten II lahir, ayahnya Radin Imba II ditangkap oleh Belanda dan dibuang ke P. Timor akibat dari memimpin perlawanan bersenjata menentang kehadiran Belanda yg ingin menjajah Lampung. Istrinya yg sedang hamil tua, Ratu Mas, tidak dibawa ke pengasingannya. Pemerintahan Keratuan Lampung dijalankan oleh Dewan Perwalian yg dikontrol oleh Belanda.

Radin Inten tidak pernah mengenal ayah kandungnya tersebut namun ibunya selalu menceritakan perjuangan ayahnya sehingga pada saat dinobatkan sebagai Ratu Negara Ratu, Radin Inten melanjutkan berjuang memimpin rakyat di daerah Lampung untuk mempertahankan kedaulatan dan keutuhan wilayahnya. Perjuangannya didukung secara luas oleh rakyat daerah Lampung dan mendapatkan bantuan dari daerah lain, seperti Banten. Salah satunya dengan H. Wakhia, tokoh Banten yang pernah melakukan perlawanan terhadap Belanda dan kemudian menyingkir ke Lampung.

Radin Inten II mengangkat H. Wakhia sebagai penasihatnya. H. Wakhia menggerakkan perlawanan di daerah Semangka dan Sekampung dengan menyerang pos - pos militer Belanda. Tokoh lain yang juga menjadi pendukung utama Radin Inten ialah Singa Beranta, Kepala Marga Rajabasa.


Sementara itu, Radin memperkuat benteng - benteng yang sudah ada dan membangun benteng - benteng baru. Benteng - benteng ini dipersenjatai dengan meriam, lila dan senjata - senjata tradisional. Bahan makanan seperti beras dan ternak disiapkan dalam benteng untuk menghadapi perang yang diperkirakan akan berlangsung lama. Semua benteng tersebut terletak di punggung gunung yang terjal sehingga sulit dicapai musuh. 

Beberapa panglima perang ditugasi memimpin benteng - benteng tersebut. Singaberanta memimpin benteng Bendulu sedangkan Radin sendiri memimpim benteng Ketimbang.

Melihat munculnya kembali perlawanan di daerah Lampung setelah reda selama enam belas tahun, pada tahun 1851 Belanda mengirim pasukan dari Batavia. Pasukan berkekuatan 400 prajurit yang dipimpin oleh Kapten Jucht ini bertugas merebut benteng Merambung. Akan tetapi, mereka dipukul mundur oleh pasukan Radin.

Karena gagal merebut Merambung, Belanda mengubah taktik. Kapten Kohler, Asisten Residen Belanda di Teluk Betung, ditugasi untuk mengadakan perundingan dengan Radin Inten. Setelah berkali - kali mengadakan perundingan akhirnya dicapai perjanjian untuk tidak saling menyerang. Belanda mengakui eksistensi Negara Ratu. Radin pun mengakui kekuasaan Belanda di tempat - tempat yang sudah mereka duduki.

Perjanjian itu digunakan Belanda hanya sebagai adem pause menunggu kesempatan untuk melancarkan serangan besar - besaran. Bagi mereka dengan cara apapun Radin harus ditundukan. Belanda yakin, selama Radin masih berkuasa kedudukan mereka di Lampung akan tetap terancam.

Namun sebelum memulai serangan - serangan baru, Belanda berusaha memecah belah masyarakat Lampung, kelompok yang satu diadu dengan kelompok yang lain. Di kalangan masyarakat ditimbulkan suasana saling mencurigai. Tugas itu dipercayakan kepada Kapten Kohler, di beberapa tempat usahanya berhasil. Pemuka - pemuka masyarakat Kalianda misalnya, termakan hasutan untuk memusuhi Radin, sehingga mereka tidak menghalang - halangi pasukan Belanda berpatroli di sekitar Gunung Rajabasa.

Pada tanggal 10 Agustus 1856 pasukan Belanda diberangkatkan dari Batavia dengan beberapa kapal perang. Pasukan ini dipimpin oleh Kolonel Welson dan terdiri atas pasukan infanteri, artileri dan zeni disertai sejumlah besar kuli pengangkut barang. Esok harinya mereka mendarat di Canti. Kekuatan mereka bertambah dengan bergabungnya pasukan Pangeran Sempurna Jaya Putih, bangsawan Lampung yang sudah memihak Belanda.

Iring - iringan kapal perang Belanda yang memasuki perairan Lampung ini dilihat oleh Singaberanta dari Benteng Bendulu. Beliau segera mengirim kurir ke Benteng Ketimbang untuk memberitahukan hal itu kepada Radin yang selanjutnya memerintahkan pasukannya di benteng - benteng lain agar menyiapkan diri.

Belanda mengirim ultimatum kepada Radin Inten agar paling lambat dalam waktu lima hari beliau dan seluruh pasukannya menyerahkan diri, bila tidak Belanda akan melancarkan serangan. Singaberanta pun dikirimi surat yang mengajaknya untuk berdamai, sambil menunggu jawaban dari Radin dan Singaberanta pasukan Belanda mengadakan konsolidasi. Radin pun meningkatkan persiapannya, benteng - benteng diperkuat. Beberapa orang kepercayaannya diperintahkan memasuki daerah - daerah yang sudah dikuasai Belanda untuk menganjurkan penduduk di tempat tersebut agar mengadakan perlawanan.

Sampai batas waktu ultimatum berakhir, baik Radin maupun Singaberanta tidak memberikan jawaban. Maka pada tanggal 16 Agustus 1856 pasukan Belanda pun mulai melancarkan serangan. Sasaran mereka hari itu ialah merebut Benteng Bendulu. Pukul 08.00 mereka sudah tiba di Bendulu setelah menempuh jarak setapak di punggung gunung yang cukup terjal. Akan tetapi, mereka menemukan benteng itu dalam keadaan kosong. Singaberanta sudah memindahkan pasukannya ke tempat lain, dengan sengaja menghindari perang terbuka, sebab yakin bahwa pasukan lawan yang dihadapinya jauh lebih kuat. Pasukannya disebar di tempat - tempat yang cukup tersembunyi dengan tugas melakukan pencegatan terhadap patroli pasukan Belanda yang keluar benteng.

Sesudah menduduki Benteng Bendulu, sebagian pasukan Belanda bergerak ke benteng Hawi Berak yang dapat mereka kuasai pada tanggal 19 Agustus.

Di Bendulu pasukan Belanda berhasil menangkap seorang kemenakan Singaberanta dan 14 orang lainnya. Mereka dipaksa menunjukkan tempat Singaberanta dan menunjukkan jalan menuju Ketimbang, semuanya mengatakan tidak tahu. Namun, mereka terpaksa menunjukkan tempat Singaberanta menyimpan senjata, antara lain 25 tabung mesiu, 1 pucuk meriam, 4 pucuk lila dan beberapa pucuk senapan. 


Sasaran utama Belanda ialah merebut benteng Ketimbang, sebab di benteng inilah Radin bertahan. Untuk merebut benteng ini kolonel Waleson membagi tiga pasukannya. Satu pasukan bergerak dari Bendulu ke arah selatan dan timur Gunung Rajabasa, satu pasukan bergerak menuju Kalianda dan Way Urang dengan tugas merebut benteng Merambung dan setelah itu langsung menuju Ketimbang. Pasukan ketiga bergerak dari Panengahan untuk merebut benteng Salai Tabuhan dan selanjutnya menuju Ketimbang.

Ternyata pelaksanaannya tidak semudah seperti yang direncanakan, kesulitan utama ialah Belanda belum mengetahui jalan menuju Ketimbang. Penduduk yang tertangkap tidak mau menunjukkan jalan tersebut. Oleh karena itu, pasukan yang langsung dipimpin Kolonel Welson dan sudah menduduki Hawi Berak terpaksa kembali ke Bendulu.

Pasukan lain yang dipimpin Mayor Van Ostade berhasil mencapai Way Urang yang penduduknya sudah memihak Belanda. Walaupun pasukan ini sempat tertahan di Kelau akibat serangan yang dilancarkan pasukan Radin, namun akhirnya mereka berhasil juga merebut benteng Merambung. Sebenarnya letak benteng Ketimbang tidak jauh dari benteng Merambung, akan tetapi Belanda tidak mengetahuinya.

Kesulitan untuk mengetahui jalan menuju Ketimbang baru dapat mereka atasi pada tanggal 26 Agustus. Pada hari itu Belanda berhasil menangkap dua orang anak muda. Seorang diantaranya ditembak mati karena berusaha melarikan diri, yang seorang lagi diancam akan dibunuh bila tidak mau menunjukkan jalan ke Ketimbang, anak muda itupun terpaksa menuruti kehendak Belanda.

Setelah jalan ke Ketimbang diketahui, Kolonel Welson segera memerintahkan pasukannya untuk melakukan serbuan. Subuh tanggal 27 Agustus mereka mulai bergerak. Ketika tiba di Galah Tanah pukul 10.00 mereka dihadang oleh pasukan Radin Inten. Pertempuran di tempat ini dimenangi oleh Belanda. Begitu pula pertempuran berikutnya di Pematang Sentok. Sebagian pasukan ditinggalkan di Pematang Sentok dan sebagian lagi meneruskan gerakan ke Ketimbang. Tengah hari pasukan ini sudah tiba di Ketimbang. Sesudah itu datang pula pasukan lain, termasuk pasukan Pangeran Sempurna Jaya Putih.

Ternyata benteng Ketimbang sudah ditinggalkan oleh Radin Inten II dan pasukannya, dalam benteng ini Belanda menemukan bahan makanan dalam jumlah yang cukup banyak, benteng Ketimbang sudah jatuh ke tangan Belanda. Akan tetapi Kolonel Welson kecewa, sebab Radin Inten tidak tertangkap atau menyerah. Welson mengirimkan pasukannya ke berbagai tempat untuk mencari Radin Inten. Sebaliknya, untuk mengacaukan pendapat Belanda, Radin Inten menyebarkan berita - berita palsu melalui orang - orang kepercayaannya. Beredar berita bahwa beliau sudah menyerah di Way Urang. Welson pun segera menuju Way Urang. Ternyata, orang yang dicarinya tidak ada di tempat itu. Seorang perempuan melaporkan pula bahwa Radin Inten ada di Rindeh dan hanya ditemani oleh beberapa orang pengikutnya. Berita itu pun ternyata berita bohong.

Suatu kali, Belanda mengetahui tempat persembuyian Radin Inten. Tempat itu pun dikepung di bawah pimpinan Kapten Kohler. Akan tetapi Radin berhasil meloloskan diri.

Sampai bulan Oktober 1856 sudah dua setengah bulan Belanda melancarkan operasi militer. Satu demi satu benteng pertahanan Radin berhasil mereka duduki. Namun, Radin masih belum tertangkap.

Sementara itu Belanda mendapat laporan bahwa Radin Inten sudah pergi ke bagian utara Lampung menyeberangi Way Seputih. Berita lain mengabarkan bahwa Singaberanta berada di Pulau Sebesi. Belanda mengarahkan pasukan untuk memotong jalan Radin Inten II, pasukan juga dikirim ke Pulau Sebesi untuk mencari Singaberanta. Hasilnya nihil, baik Radin Inten II maupun Singaberanta tidak mereka temukan.

Kolonel Welson hampir putus asa ia merasa dipermainkan. Akhirnya, Welson menemukan cara lain, Ia berhasil memperalat Radin Ngerapat.
Maka pengkhianatan pun terjadi. Radin Ngerapat mengundang Radin Inten untuk mengadakan pertemuan.

Dikatakannya bahwa ia ingin membicarakan bantuan yang diberikannya kepada Radin, tanpa curiga Radin memenuhi undangan itu.
Pertemuan diadakan malam tanggal 5 Oktober 1856 di suatu tempat dekat Kunyanya. Radin Inten ditemani oleh satu orang pengikutnya, Radin Ngerapat disertai pula oleh beberapa orang. Akan tetapi di tempat yang cukup tersembunyi, beberapa orang serdadu Belanda sudah disiapkan untuk bertindak bila diperlukan. Radin Ngerapat mempersilahkan Radin Inten II dan pengiringnya memakan makanan yang sengaja dibawanya terlebih dahulu. Pada saat Radin Inten menyantap makanan tersebut, secara tiba - tiba beliau diserang oleh Radin Ngerapat dan anak buahnya. Perkelahian yang tidak seimbang pun terjadi, serdadu Belanda keluar dari tempat persembunyiannya dan ikut mengeroyok Radin. Radin tewas dalam perkelahian itu, malam itu juga mayatnya yang masih berlumuran darah diperlihatkan kepada Kolonel Welson. Raden Inten tewas karena pengkhianatan yang dilakukan oleh orang sebangsanya dalam usia sangat muda, 24 tahun.


Namanya diabadikan sebagai sebuah Bandara Radin Inten II dan perguruan tinggi IAIN Radin Inten di Lampung.

Pada tahun 1986 Pemerintah Republik Indonesia menganugerahinya gelar Pahlawan Nasional Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 082 Tahun 1986 tanggal 23 Oktober 1986.