Mohammad Natsir




Mohammad Natsir lahir di Alahan Panjang, Lembah Gumanti, kabupaten Solok, Sumatera Barat pada tanggal 17 Juli 1908 dan wafat di Jakarta pada tanggal 6 Februari 1993 dalam usia 84 tahun. Beliau adalah seorang ulama, politisi dan pejuang kemerdekaan Indonesia, serta pendiri sekaligus pemimpin partai politik Masyumi dan tokoh Islam terkemuka Indonesia.

Di dalam negeri beliau pernah menjabat menteri dan perdana menteri Indonesia, sedangkan di kancah internasional pernah menjabat sebagai presiden Liga Muslim se-Dunia (World Muslim Congress) dan ketua Dewan Masjid se-Dunia.

M. Natsir banyak menulis tentang pemikiran Islam. Beliau aktif menulis di majalah - majalah Islam setelah karya tulis pertamanya diterbitkan pada tahun 1929, hingga akhir hayatnya beliau telah menulis sekitar 45 buku dan ratusan karya tulis lain.

Mohammad Natsir dilahirkan di Alahan Panjang, Lembah Gumanti, kabupaten Solok, Sumatera Barat pada 17 Juli 1908 dari pasangan Mohammad Idris Sutan Saripado dan Khadijah. Di masa kecilnya M. Natsir sekeluarga hidup di rumah Sutan Rajo Ameh, seorang saudagar kopi yang terkenal di sana.

Oleh pemiliknya, rumah itu dibelah menjadi kedua bagian, pemilik rumah beserta keluarga tinggal di bagian kiri dan Mohammad Idris Sutan Saripado tinggal di sebelah kanannya. Beliau memiliki 3 orang saudara kandung, masing - masing bernama Yukinan, Rubiah dan Yohanusun.

Jabatan terakhir ayahnya adalah sebagai pegawai pemerintahan di Alahan Panjang, sedangkan kakeknya merupakan seorang ulama. Beliau kelak menjadi pemangku adat untuk kaumnya yang berasal dari Maninjau, Tanjung Raya, Agam dengan gelar Datuk Sinaro nan Panjang.

M. Natsir mulai mengenyam pendidikan di Sekolah Rakyat Maninjau selama dua tahun hingga kelas dua, kemudian pindah ke Hollandsch-Inlandsche School (HIS) Adabiyah di Padang. Setelah beberapa bulan pindah lagi ke Solok dan dititipkan di rumah saudagar yang bernama Haji Musa.

Selain belajar di HIS di Solok pada siang hari belajar ilmu agama Islam di Madrasah Diniyah pada malam hari. Tiga tahun kemudian kembali pindah ke HIS di Padang bersama kakaknya.

Pada tahun 1923 beliau melanjutkan pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) lalu ikut bergabung dengan perhimpunan - perhimpunan pemuda seperti Pandu Nationale Islamietische Pavinderij dan Jong Islamieten Bond. Setelah lulus dari MULO kemudian pindah ke Bandung untuk belajar di Algemeene Middelbare School (AMS) hingga tamat pada tahun 1930.

Dari tahun 1928 sampai 1932, beliau menjadi ketua Jong Islamieten Bond (JIB) Bandung. Selain itu juga menjadi pengajar setelah memperoleh pelatihan guru selama dua tahun di perguruan tinggi. Beliau yang telah mendapatkan pendidikan Islam di Sumatera Barat sebelumnya juga memperdalam ilmu agamanya di Bandung, termasuk dalam bidang tafsir Al-Qur’an, hukum Islam dan dialektika.

Kemudian pada tahun 1932, M. Natsir berguru pada Ahmad Hassan, yang kelak menjadi tokoh organisasi Islam Persatuan Islam.

Pada 20 Oktober 1934, M. Natsir menikah dengan Nurnahar di Bandung. Dari pernikahan tersebut beliau dikaruniai enam anak.

M. Natsir juga diketahui menguasai berbagai bahasa, seperti Inggris, Belanda, Perancis, Jerman, Arab dan Esperanto. Dan juga memiliki kesamaan hobi serta memiliki kedekatan dengan Douwes Dekker, yakni bermain musik. M. Natsir suka memainkan biola dan Dekker suka bermain gitar. M. Natsir juga sering berbicara dengan Bahasa Belanda dengan Dekker dan sering membicarakan musik sekelas Ludwig van Beethoven dan novel sekelas Boris Leonidovich Pasternak, novelis kenamaan Rusia pada masa itu. Kedekatannya dengan Dekker, menyebabkan Dekker mau masuk Masyumi. Ide - ide dengan Dekker tentang perjuangan, demokrasi, dan keadilan memang sejalan dengan Natsir.


M. Natsir banyak bergaul dengan pemikir - pemikir Islam, seperti Agus Salim. Selama pertengahan 1930-an beliau dan Agus Salim terus bertukar pikiran tentang hubungan Islam dan negara demi masa depan pemerintahan Indonesia yang dipimpin Sukarno.

Pada tahun 1938 beliau bergabung dengan Partai Islam Indonesia dan diangkat sebagai pimpinan untuk cabang Bandung dari tahun 1940 sampai 1942. Dan juga bekerja sebagai Kepala Biro Pendidikan Bandung sampai tahun 1945. 

Selama pendudukan Jepang beliau bergabung dengan Majelis Islam A’la Indonesia (lalu berubah menjadi Majelis Syuro Muslimin Indonesia atau Masyumi), dan diangkat sebagai salah satu ketua dari tahun 1945 sampai ketika Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia dibubarkan oleh Presiden Sukarno pada tahun 1960.

Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia beliau menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat. Sebelum menjadi perdana menteri beliau menjabat sebagai menteri penerangan.

Pada tanggal 3 April 1950 beliau  mengajukan Mosi Integral Natsir dalam sidang pleno parlemen. Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden Indonesia yang mendorong semua pihak untuk berjuang dengan tertib, merasa terbantu dengan adanya mosi ini.

Mosi ini memulihkan keutuhan bangsa Indonesia dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sebelumnya berbentuk serikat, sehingga beliau diangkat menjadi perdana menteri oleh Presiden Soekarno pada 17 Agustus 1950.

Namun beliau mengundurkan diri dari jabatannya pada tanggal 26 April 1951 karena perselisihan paham dengan Sukarno, Sukarno yang menganut paham nasionalisme mengkritik Islam sebagai ideologi seraya memuji sekularisasi yang dilakukan Mustafa Kemal Ataturk di Kesultanan Utsmaniyah, sedangkan Natsir menyayangkan hancurnya Kesultanan Utsmaniyah dengan menunjukkan akibat - akibat negatif sekularisasi. Natsir juga mengkritik Sukarno bahwa dia kurang memperhatikan kesejahteraan di luar Pulau Jawa.

Menurut Hatta, sebelum pengunduran diri Natsir, Sukarno selaku presiden sekaligus ketua Partai Nasionalis Indonesia (PNI) terus mendesak Manai Sophiaan serta para menteri dan anggota parlemen dari PNI untuk menjatuhkan Kabinet Natsir, dan tidak mendukung kebijakan - kebijakan yang diusulkan oleh Natsir dan Hatta.

Selama era - demokrasi terpimpin di Indonesia beliau terlibat dalam pertentangan terhadap pemerintah yang semakin otoriter dan bergabung dengan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia setelah meninggalkan Pulau Jawa, PRRI yang menuntut adanya otonomi daerah yang lebih luas disalah tafsirkan oleh Sukarno sebagai pemberontakan. Akibatnya beliau ditangkap dan dipenjarakan di Malang dari tahun 1962 sampai 1964 dan dibebaskan pada masa Orde Baru pada tanggal 26 Juli 1966.

Setelah dibebaskan dari penjara, M. Natsir kembali terlibat dalam organisasi - organisasi Islam, seperti Majelis Ta’sisi Rabitah Alam Islami dan Majelis Ala al-Alami lil Masjid yang berpusat di Mekkah, Pusat Studi Islam Oxford (Oxford Centre for Islamic Studies) di Inggris, dan Liga Muslim se-Dunia (World Muslim Congress) di Karachi, Pakistan.

Di masa - masa awal Orde Baru ini beliau berjasa mengirim nota kepada Tunku Abdul Rahman dalam rangka mencairkan hubungan dengan Malaysia. Selain itu pula, dialah yang mengontak pemerintah Kuwait agar menanam modal di Indonesia dan meyakinkan pemerintah Jepang tentang kesungguhan Orde Baru membangun ekonomi.

Di era Orde Baru beliau membentuk Yayasan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia. Beliau juga mengkritikisi kebijakan pemerintah, seperti ketika menandatangani Petisi 50 pada 5 Mei 1980 bersama dengan Jenderal Hoegeng, Letjen Ali Sadikin, Sanusi Hardjadinata, SK Trimurti dan lain - lain, yang menyebabkan beliau dilarang pergi ke luar negeri.

Akibat dilarangnya beliau pergi ke luar negeri, banyak seminar yang tidak bisa diikutinya. Natsir menolak kecurigaan Suharto terhadap partai - partai, terutama partai Islam. Apalagi Opsus (Operasi Khusus) yang berada di bawah pimpinan langsung Suharto juga ikut dikritisi. Padahal badan intel inilah yang meminta Natsir dalam memulai hubungan dengan Malaysia dan Timur Tengah setelah naiknya Suharto.

Pemerintah Indonesia saat itu, baik yang dipimpin oleh Sukarno maupun Suharto, sama - sama menuding Mohammad Natsir sebagai pemerontak dan pembangkang, bahkan tudingan tersebut membuatnya dipenjarakan. Sedangkan oleh negara - negara lain, Natsir sangat dihormati dan dihargai, hingga banyak penghargaan yang dianugerahkan kepadanya.

Dunia Islam mengakui Mohammad Natsir sebagai pahlawan yang melintasi batas bangsa dan negara. Bruce Lawrence menyebutkan bahwa Natsir merupakan politisi yang paling menonjol mendukung pembaruan Islam.

Pada tahun 1957 beliau menerima bintang Nichan Istikhar (Grand Gordon) dari Raja Tunisia, Lamine Bey atas jasanya membantu perjuangan kemerdekaan rakyat Afrika Utara.

Penghargaan Internasional lainnya yaitu Jaa-izatul Malik Faisal al-Alamiyah pada tahun 1980 dan penghargaan dari beberapa ulama dan pemikir terkenal seperti Syekh Abul Hasan Ali an-Nadwi dan Abul A’la Maududi.


Pada tahun 1980 M. Natsir dianugerahi penghargaan Faisal Award dari Raja Fahd Arab Saudi melalui Yayasan Raja Faisal di Riyadh, Arab Saudi.

Selain itu juga memperoleh gelar doktor kehormatan di bidang politik Islam dari Universitas Islam Libanon pada tahun 1967.

Pada tahun 1991 beliau memperoleh dua gelar kehormatan, yaitu dalam bidang sastra dari Universitas Kebangsaan Malaysia dan dalam bidang pemikiran Islam dari Universitas Sains Malaysia.

Reporter Ramadhian Fadillah melaporkan bahwasanya beliau tokoh sederhana sepanjang zaman. Ia juga melaporkan bahwa Natsir “tak punya baju bagus, jasnya bertambal. Dia dikenang sebagai menteri yang tak punya rumah dan menolak diberi hadiah mobil mewah.”

George McTurnan Kahin (pengajar di Universitas Cornell) mendapat info dari Agus Salim bahwa ada staf dari Kementerian Penerangan yang hendak mengumpulkan uang untuk Natsir supaya berpakaian lebih layak. Apalagi kemejanya cuma dua setel dan sudah butut pula. 

Sewaktu mundur sebagai Perdana Menteri pada Maret 1951, sekretarisnya - Maria Ulfa, menyerahkan padanya sisa dana taktis dengan banyak saldo yang sebenarnya juga hak perdana menteri. Namun M. Natsir menolak dan dana itu dilimpahkan ke koperasi karyawan tanpa sepeser dia ambil, dikatakan beliau menolak mobil Chevrolet Impala. Padahal di rumahnya hanya memiliki mobil tua, De Soto yang dia beli sendiri untuk mengantar - jemput anak - anaknya.
   
M. Natsir meninggal pada 6 Februari 1993 di Jakarta dan dimakamkan sehari kemudian.

Pemerintah Indonesia baru menghormatinya setelah 15 tahun kematiannya, yaitu pada 10 November 2008 M. Natsir dianugerahi gelar sebagai Pahlawan Nasional Indonesia, berdasarkan SK No. 041/TK/Tahun 2008, tanggal 6 November 2008.

Pada masa B. J. Habibie beliau diberi penghargaan Bintang Republik Indonesia Adipradana.