Abdul Muis





Abdul Muis (Abdoel Moeis - Abd Al-Mu’iz) lahir di Sungai Puar, Agam, Sumatera Barat pada tanggal 3 Juli 1883 dan wafat di Bandung, Jawa Barat pada tanggal 17 Juni 1959 dalam usia 75 tahun.

Beliau adalah seorang sastrawan, politikus, dan wartawan Indonesia. Dia merupakan pengurus besar Sarekat Islam dan pernah menjadi anggota Volksraad mewakili organisasi tersebut.

Abdul Muis adalah seorang Minangkabau, putra Datuk Tumangguang Sutan Sulaiman. Ayahnya merupakan seorang demang yang keras menentang kebijakan Belanda di dataran tinggi Agam.

Abdul Muis menempuh pendidikan di ELS dan kemudian melanjutkan pendidikannya ke Stovia (sekolah kedokteran, sekarang Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia), Jakarta. Namun karena sakit beliau tidak menyelesaikan pendidikannya di sana.

Abdul Muis memulai kariernya sebagai klerk di Departemen Onderwijs en Eredienst atas bantuan Mr. Abendanon yang saat itu menjabat sebagai Direktur Pendidikan. Namun pengangkatannya itu tidak disukai oleh karyawan Belanda lainnya. Setelah dua setengah tahun bekerja di departemen itu beliau keluar dan menjadi wartawan di Bandung.

Pada tahun 1905 beliau diterima sebagai anggota dewan redaksi majalah Bintang Hindia. Kemudian sempat menjadi mantri lumbung dan kembali menjadi wartawan pada surat kabar Belanda Preanger Bode dan majalah Neraca pimpinan Haji Agus Salim.

Pada tahun 1913 beliau bergabung dengan Sarekat Islam, dan menjadi Pemimpin Redaksi Harian Kaoem Moeda.


Setahun kemudian, melalui Komite Bumiputera yang didirikannya bersama Ki Hadjar Dewantara, Abdul Muis menentang rencana pemerintah Belanda mengadakan perayaan peringatan seratus tahun kemerdekaan Belanda dari Perancis.

Tahun 1917 beliau dipercaya sebagai utusan Sarekat Islam pergi ke negeri Belanda untuk mempropagandakan komite Indie Weerbaar. Dalam kunjungan itu beliau juga mendorong tokoh - tokoh Belanda untuk mendirikan Technische Hooge School - Institut Teknologi Bandung (ITB) di Priangan.

Pada tahun 1918, Abdul Muis ditunjuk sebagai anggota Volksraad mewakili Central Sarekat Islam. Bulan Juni 1919, seorang pengawas Belanda di Toli - Toli, Sulawesi Utara dibunuh setelah beliau berpidato disana. Abdul Muis dituduh telah menghasut rakyat untuk menolak kerja rodi, sehingga terjadi pembunuhan tersebut. Atas kejadian itu beliau dipersalahkan dan dipenjara.

Selain berpidato beliau juga berjuang melalui berbagai media cetak. Dalam tulisannya di harian berbahasa Belanda De Express, Abdul Muis mengecam seorang Belanda yang sangat menghina bumiputera.

Pada tahun 1920 Abdul Muis terpilih sebagai Ketua Pengurus Besar Perkumpulan Buruh Pegadaian. Setahun kemudian memimpin pemogokan kaum buruh di Yogyakarta.

Tahun 1923 Abdul Muis mengunjungi Padang, Sumatera Barat. Disana beliau mengundang para penghulu adat untuk bermusyawarah, menentang pajak yang memberatkan masyarakat Minangkabau. Berkat aksinya tersebut beliau dilarang berpolitik, selain itu juga dikenakan passentelsel, yang melarangnya tinggal di Sumatera Barat dan keluar dari Pulau Jawa. Kemudian Abdul Muis diasingkan ke Garut, Jawa Barat, di kota ini beliau menyelesaikan novelnya yang cukup terkenal : Salah Asuhan.

Tahun 1926 Abdul Muis terpilih menjadi anggota Regentschapsraad Garut dan enam tahun kemudian diangkat menjadi Regentschapsraad Controleur. Jabatan itu diembannya hingga Jepang masuk ke Indonesia (1942).

Setelah kemerdekaan Abdul Muis mendirikan Persatuan Perjuangan Priangan yang fokus pada pembangunan di Jawa Barat dan masyarakat Sunda.

Tahun 1959 Abdul Muis wafat dan dimakamkan di TMP Cikutra, Bandung.


Abdul Muis dikukuhkan sebagai Pahlawan Nasional yang pertama oleh Presiden RI, Sukarno melalui SK No. 218/TK/1959, tanggal 30 Agustus 1959.