Nani Wartabone




Nani Wartabone lahir pada tanggal 30 Januari 1907 dan wafat di Suwawa, Gorontalo pada tanggal 3 Januari 1986 dalam usia 78 tahun. Beliau adalah putra Gorontalo dan tokoh perjuangan dari provinsi Gorontalo.

Perjuangannya dimulai ketika beliau mendirikan dan menjadi sekretaris Jong Gorontalo di Surabaya pada 1923.

Lima tahun kemudian beliau menjadi Ketua Partai Nasional Indonesia (PNI) Cabang Gorontalo.

Tiga tahun sebelum Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, beliau bersama masyarakat setempat terlebih dulu memproklamasikan kemerdekaan Gorontalo, yaitu pada tanggal 23 Januari 1942.

Setelah tentara Sekutu dikalahkan Jepang pada Perang Asia - Pasifik, Belanda merencanakan pembumi - hangusan Gorontalo yang dimulai pada 28 Desember 1941 dengan mulai membakar gudang - gudang kopra dan minyak di Pabean dan Talumolo.
Nani Wartabone dan rakyat Gorontalo mencoba menghalanginya dengan menangkapi para pejabat Belanda yang masih ada di Gorontalo.

Pada 23 Januari, dimulai dari kampung - kampung di pinggiran kota Gorontalo seperti Suwawa (tempat lahirnya Agusrianto Huladu), Kabila dan Tamalate, Nani Wartabone dan rakyat Gorontalo bergerak mengepung kota.
Pukul lima subuh Komandan Detasemen Veld Politie WC Romer dan beberapa kepala jawatan yang ada di Gorontalo menyerah.

Selesai penangkapan, Nani Wartabone memimpin langsung upacara pengibaran bendera Merah Putih yang diiringi lagu "Indonesia Raya" di halaman Kantor Pos Gorontalo.
Peristiwa itu berlangsung pada pukul 10:00 dan Nani Wartabone sebagai inspektur upacaranya. Di hadapan massa rakyat beliau berpidato : 


"Pada hari ini, tanggal 23 Januari 1942, kita bangsa Indonesia yang berada di sini sudah merdeka bebas, lepas dan penjajahan bangsa mana pun juga. Bendera kita yaitu Merah Putih, lagu kebangsaan kita adalah Indonesia Raya. Pemerintahan Belanda sudah diambil oleh Pemerintah Nasional. Agar tetap menjaga keamanan dan ketertiban".

Sore harinya, Nani Wartabone memimpin rapat pembentukan Pucuk Pimpinan Pemerintahan Gorontalo (PPPG) yang berfungsi sebagai Badan Perwakilan Rakyat (BPR) dan Nani dipilih sebagai ketuanya. Empat hari kemudian, Nani Wartabone memobilisasi rakyat dalam sebuah rapat raksasa di Tanah Lapang Besar Gorontalo.
Tujuannya adalah mempertahankan kemerdekaan yang sudah diproklamasikan itu dengan risiko apapun.

Sebulan sesudah "Proklamasi Kemerdekaan Nasional" di Gorontalo, tentara Jepang mulai mendarat. Pada 26 Februari sebuah kapal perang Jepang yang bertolak dari Manado berlabuh di pelabuhan Gorontalo.
Nani Wartabone menyambut baik bala tentara Jepang ini dengan harapan kehadiran mereka akan menolong PPPG. Ternyata sebaliknya, Jepang justru melarang pengibaran bendera Merah Putih dan menuntut warga Gorontalo bersedia tunduk pada Jepang. Nani Wartabone menolak permintaan ini. Namun karena tidak kuasa melawan Jepang, beliau kemudian memutuskan meninggalkan kota Gorontalo dan kembali ke kampung kelahirannya Suwawa, tanpa ada penyerahan kedaulatan.

Di Suwawa Nani Wartabone mulai hidup sederhana dengan bertani. Rakyat yang berpihak kepada Nani Wartabone akhirnya melakukan mogok massal sehingga Gorontalo bagaikan kota mati.
Melihat situasi ini, Jepang melalui kaki tangannya melancarkan fitnah, bahwa Nani Wartabone sedang menghasut rakyat berontak kepada Jepang.
Akibat fitnah itu, Nani Wartabone akhirnya ditangkap pada 30 Desember 1943 dan dibawa ke Manado, di sini Nani Wartabone mengalami berbagai siksaan.
Salah satu siksaan Jepang yang masih melekat dalam ingatan masyarakat Gorontalo hingga saat ini adalah, ketika Nani Wartabone selama sehari semalam ditanam seluruh tubuhnya kecuali bagian kepala di pantai di belakang Kantor Gubernur Sulawesi Utara sekarang.
Hampir sehari kepala Nani Wartabone dimainkan ombak dan butir-butir pasir.

Nani Wartabone baru dilepaskan Jepang pada 6 Juni 1945, saat tanda-tanda kekalahan Jepang dari Sekutu mulai tampak.
Setelah menyerah kepada Sekutu, Jepang masih tetap menghormati Nani Wartabone sebagai pemimpin rakyat Gorontalo.
Ini terbukti dengan penyerahan pemerintahan Gorontalo dari Jepang kepada Nani Wartabone pada tanggal 16 Agustus 1945.

Sejak hari itu Sang Saka Merah Putih kembali berkibar di bumi Gorontalo setelah diturunkan Jepang sejak 6 Juni 1942.


Anehnya, setelah penyerahan kekuasaan itu, Nani Wartabone dan rakyat Gorontalo tidak mengetahui telah terjadi Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Jakarta keesokan harinya.
Mereka baru mengetahuinya pada 28 Agustus 1945. 

Untuk memperkuat pemerintahan nasional di Gorontalo yang baru saja diambil alih dari tangan Jepang itu, Nani Wartabone merekrut 500 pemuda untuk dijadikan pasukan keamanan dan pertahanan. Mereka dibekali dengan senjata hasil rampasan dari Jepang dan Belanda. Pasukan ini dilatih sendiri oleh Nani Wartabone, sedangkan lokasi latihannya dipusatkan di Tabuliti, Suwawa. Wilayah ini sangat strategis, berada di atas sebuah bukit yang dilingkari oleh beberapa bukit kecil dan bisa memantau seluruh kota Gorontalo.
Di tempat ini pula, raja - raja Gorontalo zaman dahulu membangun benteng-benteng pertahanan mereka.

Setelah menerima berita proklamasi di Jakarta, pada tanggal 1 September 1945 Nani Wartabone membentuk Dewan Nasional di Gorontalo sebagai badan legislatif untuk mendampingi kepala pemerintahan.
Dewan yang beranggotakan 17 orang ini terdiri dari para ulama, tokoh masyarakat dan ketua parpol.

G. Maengkom yang pernah menjadi Menteri Kehakiman Rl dan Muhammad Ali yang pernah menjadi Kepala Bea Cukai di Tanjung Priok adalah dua dari 17 orang anggota dewan tersebut.
Sayangnya, keadaan ini tidak berlangsung lama karena Sekutu masuk. Bagi Belanda yang memboncengi Sekutu ketika itu, Nani Wartabone adalah ancaman serius bagi niat mereka untuk kembali menjajah Indonesia, khususnya Gorontalo.

Mereka berpura-pura mengundang Nani Wartabone berunding pada 30 November 1945 di sebuah kapal perang Sekutu yang berlabuh di pelabuhan Gorontalo, lalu Belanda menawannya. Nani Wartabone langsung dibawa ke Manado.
Di hadapan Pengadilan Militer Belanda di Manado, Nani Wartabone dijatuhi hukuman penjara selama 15 tahun dengan tuduhan makar pada tanggal 23 Januari 1942.

Dari penjara di Manado, Nani Wartabone dibawa ke Morotai yang kemudian dipindahkah ke penjara Cipinang di Jakarta pada bulan Desember 1946.
Hanya sebelas hari di Cipinang, Nani kembali dibawa ke penjara di Morotai. Di sini beliau kembali mengalami siksaan fisik yang sangat kejam dari tentara pendudukan Belanda.

Dari Morotai beliau dikembalikan lagi ke Cipinang, sampai dibebaskan pada tanggal 23 Januari 1949 setelah pengakuan kedaulatan Indonesia.


Pada peringatan Hari Pahlawan 2003, Presiden Megawati Soekarnoputri menyerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Nani Wartabone melalui ahli warisnya yang diwakili oleh salah seorang anak laki-lakinya, Hi Fauzi Wartabone, di Istana Negara, pada tanggal 7 November 2003.

Wartabone ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 085/TK/Tahun 2003 tertanggal 6 November 2003.

Untuk mengenang perjuangannya di kota Gorontalo dibangun Tugu Nani Wartabone untuk mengingatkan masyarakat Gorontalo akan peristiwa bersejarah 23 Januari 1942 itu.