Cut Nyak Dien




Tjoet Nja' Dhien (Cut Nyak Dhien) lahir di Lampadang, Kerajaan Aceh pada tahu  1848 dan wafat di Sumedang - Jawa Barat pada 6 November tahun 1908 dalam usia 60 tahun. Beliau adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia yang berjuang melawan Belanda pada masa Perang Aceh.

Cut Nyak Dhien dilahirkan dari keluarga bangsawan yang taat beragama di Aceh Besar, wilayah VI Mukim pada tahun 1848. Ayahnya bernama Teuku Nanta Seutia, seorang uleebalang VI Mukim, yang juga merupakan keturunan Datuk Makhudum Sati perantau dari Minangkabau.

Datuk Makhudum Sati mungkin datang ke Aceh pada abad ke 18 ketika kesultanan Aceh diperintah oleh Sultan Jamalul Badrul Munir. Oleh sebab itu, Ayah dari Cut Nyak Dhien merupakan keturunan Minangkabau. Ibu Cut Nyak Dhien adalah putri uleebalang Lampagar.

Pada masa kecilnya, Cut Nyak Dhien adalah anak yang cantik, beliau memperoleh pendidikan pada bidang agama (yang dididik oleh orang tua ataupun guru agama) dan rumah tangga (memasak, melayani suami, dan yang menyangkut kehidupan sehari-hari yang dididik baik oleh orang tuanya).


Banyak laki-laki yang suka pada Cut Nyak Dhien dan berusaha melamarnya. Pada usia 12 tahun beliau sudah dinikahkan oleh orangtuanya pada tahun 1862 dengan Teuku Cek Ibrahim Lamnga putra dari uleebalang Lamnga XIII dan mereka memiliki satu anak laki-laki.

Setelah wilayah VI Mukim diserang, beliau mengungsi sementara suaminya Ibrahim Lamnga bertempur melawan Belanda. Ibrahim Lamnga tewas di Gle Tarum pada tanggal 29 Juni 1878 yang menyebabkan Cut Nyak Dhien sangat marah dan bersumpah hendak menghancurkan Belanda.


Teuku Umar, salah satu tokoh yang melawan Belanda melamar Cut Nyak Dhien. Pada awalnya Cut Nyak Dhien menolak tetapi karena Teuku Umar memperbolehkannya ikut serta dalam medan perang, Cut Nyak Dhien setuju untuk menikah dengannya pada tahun 1880. Mereka dikaruniai anak yang diberi nama Cut Gambang. Setelah pernikahannya dengan Teuku Umar beliau bersama Teuku Umar bertempur bersama melawan Belanda. Namun, Teuku Umar gugur saat menyerang Meulaboh pada tanggal 11 Februari 1899 sehingga beliau berjuang sendirian di pedalaman Meulaboh bersama pasukan kecilnya.

Cut Nyak Dien saat itu sudah tua dan memiliki penyakit encok dan rabun, sehingga satu pasukannya yang bernama Pang Laot melaporkan keberadaannya karena iba. Beliau akhirnya ditangkap dan dibawa ke Banda Aceh, disana beliau dirawat dan penyakitnya mulai sembuh.

Dan keberadaannya menambah semangat perlawanan rakyat Aceh. Beliau juga masih berhubungan dengan pejuang Aceh yang belum tertangkap. Akibatnya Dhien dibuang ke Sumedang. Pada tanggal 6 bulan November tahun 1908 Cut Nyak Dhien meninggal karena usianya yang sudah tua.

Menurut penjaga makam, makam Cut Nyak Dhien "Ibu Perbu" baru ditemukan pada tahun 1959 berdasarkan permintaan Gubernur Aceh saat itu, Ali Hasan.

Pencarian dilakukan berdasarkan data yang ditemukan di Belanda. Masyarakat Aceh di Sumedang sering menggelar acara sarasehan. Pada acara tersebut, peserta berziarah ke makam Cut Nyak Dhien dengan jarak sekitar dua kilometer.

Menurut pengurus makam, kumpulan masyarakat Aceh di Bandung sering menggelar acara tahunan dan melakukan ziarah setelah hari pertama Lebaran. Selain itu, orang Aceh dari Jakarta melakukan acara Haul setiap bulan November Makam Cut Nyak Dhien pertama kali dipugar pada 1987 dan dapat terlihat melalui monumen peringatan di dekat pintu masuk yang tertulis tentang peresmian makam yang ditandatangani oleh Gubernur Aceh Ibrahim Hasan pada tanggal 7 Desember 1987.

Makam Cut Nyak Dhien dikelilingi pagar besi yang ditanam bersama beton dengan luas 1.500 m2. Di belakang makam terdapat musholla dan di sebelah kiri makam terdapat banyak batu nissan yang dikatakan sebagai makam keluarga ulama H. Sanusi. Pada batu nissan Cut Nyak Dhien tertulis riwayat hidupnya, tulisan bahasa Arab, Surah At-Taubah dan Al-Fajr, serta hikayat cerita Aceh.

Jumlah peziarah ke makam Cut Nyak Dhien berkurang karena Gerakan Aceh Merdeka melakukan perlawanan di Aceh untuk merdeka dari Republik Indonesia.


Selain itu, daerah makam ini sepi akibat sering diawasi oleh aparat. Kini, makam ini mendapat biaya perawatan dari kotak amal di daerah makam karena pemerintah Sumedang tidak memberikan dana.

Atas jasa - jasanya Pemerintah mengabadikannya pada :

  • Sebuah kapal perang TNI-AL diberi nama KRI Cut Nyak Dhien.
  • Mata uang rupiah yang bernilai sebesar Rp10.000,00 yang dikeluarkan tahun 1998 memuat gambar Cut Nyak Dhien dengan deskripsi Tjoet Njak Dhien.
  • Namanya diabadikan di berbagai kota Indonesia sebagai nama jalan.
  • Masjid Aceh kecil didirikan di dekat makamnya untuk mengenangnya. 

Cut Nyak Dhien diakui oleh Presiden Soekarno sebagai Pahlawan Nasional Indonesia melalui SK Presiden RI No.106 Tahun 1964 pada tanggal 2 Mei 1964.