Brigadir Jenderal Ignatius Slamet Riyadi (Ignatius Slamet Rijadi) lahir di Surakarta pada tanggal 26 Juli 1927 dan wafat di Ambon pada tanggal 4 November 1950 dalam usia 23 tahun. Beliau adalah seorang tentara Indonesia.
Slamet Riyadi terlahir dengan nama Soekamto (Sukamto), putra kedua dari pasangan Raden Ngabehi Prawiropralebdo, seorang perwira pada tentara kesultanan dan Soetati (Sutati), seorang penjual buah.
Saat Sukamto berusia satu tahun, ibunya menjatuhkannya, beliau kemudian jadi sering sakit - sakitan. Untuk membantu menyembuhkan penyakitnya, keluarganya "menjualnya" dalam ritual tradisional suku Jawa kepada pamannya, Warnenhardjo (Warnenharjo).
Setelah ritual nama Sukamto diganti menjadi Slamet. Meskipun setelah ritual secara formal beliau adalah putra Warnenharjo, Slamet tetap dibesarkan di rumah orangtuanya.
Keluarganya menganut Katolik Roma, namun Slamet memutuskan untuk mempelajari kejawen sejak muda.
Slamet menempuh pendidikan di sekolah milik Belanda. Sekolah dasar dilaluinya di Hollandsch - Inlandsche Schooll Ardjoeno, sebuah sekolah swasta yang dimiliki dan dikelola oleh kelompok agamawan Belanda.
Saat bersekolah di Sekolah Menengah Mangkunegaran, beliau memperoleh nama belakang Riyadi karena ada banyak siswa yang bernama Slamet di sekolah tersebut.
Saat di sekolah menengah juga ayahnya kembali "membelinya" dari sang paman. Setelah tamat sekolah menengah dan saat Jepang menduduki Hindia - Belanda pada tahun 1942 beliau melanjutkan pendidikannya ke akademi pelaut di Jakarta.
Setelah lulus bekerja sebagai navigator di sebuah kapal laut. Saat tidak bekerja di laut beliau tinggal di sebuah asrama di dekat Stasiun Gambir, Jakarta Pusat, sesekali juga bertemu dengan para pejuang bawah tanah.
Pada 14 Februari 1945, setelah Jepang mulai mengalami kekalahan dalam Perang Dunia II, Slamet Riyadi beserta rekannya sesama pelaut meninggalkan asrama mereka dan mengambil senjata. Beliau pulang ke Surakarta dan mulai mendukung gerakan perlawanan di sana.
Slamet Riyadi tidak ditangkap oleh polisi militer Jepang atau unit lainnya selama masa pendudukan yang berakhir dengan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.
Setelah Jepang menyerah, Belanda berupaya untuk kembali menjajah Indonesia, karena tidak mau dijajah kembali, rakyat Indonesia melawan balik. Beliau memulai kampanye gerilya melawan Belanda dan dengan cepat memperoleh kenaikan pangkat dan bertanggung jawab atas Resimen 26 di Surakarta.
Selama Agresi Militer Belanda I, yaitu serangan umum yang dilancarkan oleh belanda pada pertengahan 1947, Slamet Riyadi memimpin pasukan Indonesia di beberapa daerah di Jawa Tengah, termasuk Ambarawa dan Semarang, juga memimpin pasukan penyisir di sepanjang Gunung Merapi dan Merbabu.
Pada bulan September 1948, beliau dipromosikan dan diserahi kontrol atas empat batalion tentara dan satu batalion tentara pelajar.
Dua bulan kemudian Belanda melancarkan serangan kedua, kali ini menyasar kota Yogyakarta yang saat itu menjadi ibu kota negara. Meskipun beliau dan pasukannya melancarkan serangan terhadap tentara Belanda yang berusaha mendekati Solo melalui Klaten, tentara Belanda akhirnya berhasil memasuki kota.
Dengan menerapkan kebijakan "berpencar dan menaklukkan" Slamet Riyadi mampu menghalau tentara Belanda dalam waktu empat hari. Setelah itu dikirim ke Jawa Barat untuk melawan Angkatan Perang Ratu Adil bentukan Raymond Westerling.
Tak lama setelah berakhirnya perang, Republik Maluku Selatan (RMS) mendeklarasikan kemerdekaannya dari Indonesia yang baru lahir. Slamet Riyadi dikirim ke garis depan pada tanggal 10 Juli 1950 sebagai bagian dari Operasi Senopati. Untuk merebut kembali Pulau Ambon dengan membawa setengah pasukannya dan menyerbu pantai timur, sedangkan sisanya ditugaskan untuk menyerang dari pantai utara. Meskipun pasukan kedua mengobarkan perlawanan dengan sengit, pasukannya mampu mengambil alih pantai tanpa perlawanan, mereka kemudian mendaratkan lebih banyak infanteri dan perlengkapan zirah.
Pada tanggal 3 Oktober pasukan Slamet Riyadi bersama dengan Kolonel Alexander Evert Kawilarang ditugaskan untuk mengambil alih ibu kota pemberontak di New Victoria dengan memimpin tiga serangan, pasukan darat menyerang dari utara dan timur, sedangkan pasukan laut langsung diterjunkan di pelabuhan Ambon. Pasukannya merangsek mendekati kota melewati rawa - rawa bakau, perjalanan yang memakan waktu selama sebulan.
Dalam perjalanan, tentara RMS yang bersenjatakan Jungle Carbine dan Owen Gun terus menembaki pasukan beliau, yang seringkali membuat mereka terjepit.
Setibanya di New Victoria, pasukannya diserang oleh pasukan RMS. Namun beliau tidak mengetahui akhir pertempuran tersebut.
Ketika Slamet Riyadi sedang menaiki sebuah tank menuju markas pemberontak pada tanggal 4 November, selongsong peluru senjata mesin menembakinya. Peluru tersebut menembus baju besi dan perutnya. Setelah dilarikan ke rumah sakit kapal beliau bersikeras untuk kembali ke medan pertempuran. Para dokter lalu memberinya banyak morfin dan berupaya untuk mengobati luka tembaknya, namun upaya ini gagal, beliau tewas pada malam itu juga dan pertempuran berakhir di hari yang sama.
Slamet Riyadi dimakamkan di Ambon. Sejumlah tempat dan benda dinamai untuk menghormati Riyadi, sebuah jalan utama sepanjang 5.8 kilometer (3.6 mil) di Surakarta dinamakan sesuai nama sang brigadir jenderal. KRI Slamet Riyadi, sebuah fregat yang dikatakan sebagai salah satu kapal tercanggih yang dimiliki oleh TNI Angkatan Laut, juga dinamai menurut namanya, begitu juga dengan sebuah universitas di Surakarta.
Riyadi telah menerima berbagai tanda kehormatan dari pemerintah Indonesia, beberapa medali anumerta, termasuk Bintang Sakti pada bulan Mei 1961, Bintang Gerilya pada bulan Juli 1961, dan Satya Lencana Bakti pada bulan November 1961.
Pada 9 November 2007, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menganugerahi Slamet Riyadi gelar Pahlawan Nasional Indonesia, dikukuhkan sebagai pahlawan bersama dengan Adnan Kapau Gani, Ida Anak Agung Gde Agung dan Mustopo, berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 66 Tahun 2007.