Yahya Daniel |
Laksamana Muda TNI (Purn) Yahya Daniel Dharma (John Lie Tjeng Tjoan - Jahja Daniel Dharma) lahir di Manado, Sulawesi Utara pada tanggal 9 Maret 1911 dan wafat di Jakarta pada tanggal 27 Agustus 1988 dalam usia 77 tahun. Beliau adalah salah seorang perwira tinggi di Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut dari etnis Tionghoa.
Lahir dari pasangan suami isteri Lie Kae Tae dan Oei Tjeng Nie Nio. Ayahnya (Lie Kae Tae) pemilik perusahaan pengangkutan Vetol (Veem en transportonderneming Lie Kay Thai).
Sebagaimana yang diceritakan oleh Rita Tuwasey Lie, keponakan John Lie. Menginjak usia 17 tahun John Lie kabur ke Batavia karena ingin menjadi pelaut. Di kota ini, sembari menjadi buruh pelabuhan beliau mengikuti kursus navigasi.
Setelah itu John Lie menjadi klerk mualim III pada kapal Koninklijk Paketvaart Maatschappij, perusahaan pelayaran Belanda.
Pada 1942, John Lie bertugas di Khorramshahr, Iran dan mendapatkan pendidikan militer.
Ketika Perang Dunia II berakhir dan Indonesia merdeka beliau memutuskan bergabung dengan Kesatuan Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS) sebelum akhirnya diterima di Angkatan Laut RI.
Semula beliau bertugas di Cilacap, Jawa Tengah dengan pangkat Kapten. Di pelabuhan ini selama beberapa bulan beliau berhasil membersihkan ranjau yang ditanam Jepang untuk menghadapi pasukan Sekutu. Atas jasanya, pangkatnya dinaikkan menjadi Mayor. Kemudian beliau memimpin misi menembus blokade Belanda guna menyelundupkan senjata, bahan pangan, dan lainnya. Daerah operasinya meliputi Singapura, Penang, Bangkok, Rangoon, Manila, dan New Delhi. Beliau ditugaskan mengamankan pelayaran kapal yang mengangkut komoditas ekspor Indonesia untuk diperdagangkan di luar negeri dalam rangka mengisi kas negara yang saat itu masih tipis.
Pada masa awal (tahun 1947) beliau pernah mengawal kapal yang membawa karet 800 ton untuk diserahkan kepada Kepala Perwakilan RI di Singapura, Utoyo Ramelan.
Sejak itu secara rutin melakukan operasi menembus blokade Belanda. Karet atau hasil bumi lain dibawa ke Singapura untuk dibarter dengan senjata. Senjata yang mereka peroleh lalu diserahkan kepada pejabat Republik yang ada di Sumatera seperti Bupati Riau sebagai sarana perjuangan melawan Belanda.
Perjuangan mereka tidak ringan karena selain menghindari patroli Belanda, juga harus menghadang gelombang samudera yang relatif besar untuk ukuran kapal yang mereka gunakan. Untuk keperluan operasi ini, John Lie memiliki kapal kecil cepat, dinamakan the Outlaw.
Seperti dituturkan dalam buku yang disunting Kustiniyati Mochtar (1992), paling sedikit sebanyak 15 kali beliau melakukan operasi "penyelundupan". Pernah saat membawa 18 drum minyak kelapa sawit beliau ditangkap perwira Inggris. Di pengadilan Singapura beliau dibebaskan karena tidak terbukti melanggar hukum.
Beliau juga mengalami peristiwa menegangkan saat membawa senjata semiotomatis dari Johor ke Sumatera, dihadang pesawat terbang patroli Belanda. John Lie mengatakan kapalnya sedang kandas, dua penembak, seorang berkulit putih dan seorang lagi berkulit gelap tampaknya berasal dari Maluku, mengarahkan senjata ke kapal mereka, entah mengapa komandan tidak mengeluarkan perintah tembak. Pesawat itu lalu meninggalkan the Outlaw tanpa insiden, mungkin persediaan bahan bakar menipis sehingga mereka buru - buru pergi. Setelah menyerahkan senjata kepada Bupati Usman Effendi dan komandan batalyon Abusamah, mereka lalu mendapat surat resmi dari syahbandar bahwa kapal the Outlaw adalah milik Republik Indonesia dan diberi nama resmi PPB 58LB.
Seminggu kemudian John Lie kembali ke Port Swettenham di Malaya untuk mendirikan pangkalan AL yang menyuplai bahan bakar, bensin, makanan, senjata, dan keperluan lain bagi perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Pada awal 1950 ketika ada di Bangkok beliau dipanggil pulang ke Surabaya oleh KSAL Subiyakto dan ditugaskan menjadi komandan kapal perang Rajawali. Pada masa berikut beliau aktif dalam penumpasan RMS (Republik Maluku Selatan) di Maluku lalu PRRI/Permesta.
Beliau mengakhiri pengabdiannya di TNI Angkatan Laut pada Desember 1966 dengan pangkat terakhir Laksamana Muda.
Menurut kesaksian Jenderal Besar AH Nasution pada 1988, prestasi John Lie tiada taranya di Angkatan Laut karena beliau adalah panglima armada (TNI AL) pada puncak - puncak krisis eksistensi Republik, yakni dalam operasi - operasi menumpas kelompok separatis Republik Maluku Selatan, Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia dan Perjuangan Rakyat Semesta.
Kesibukannya dalam perjuangan membuat beliau baru menikah pada usia 45 tahun, dengan Pdt. Margaretha Dharma Angkuw.
Pada 30 Agustus 1966 John Lie mengganti namanya dengan Jahja Daniel Dharma.
Beliau meninggal dunia karena stroke pada 27 Agustus 1988 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.
Atas segala jasa dan pengabdiannya beliau dianugerahi Bintang Mahaputera Utama oleh Presiden Suharto pada 10 November 1995, Bintang Mahaputera Adipradana dan gelar Pahlawan Nasional oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 9 November 2009.