Herman Johannes


Herman Johannes

Prof. Dr. Ir. Herman Johannes lahir di Rote, NTT pada tanggal 28 Mei 1912 dan wafat di Yogyakarta pada tanggal 17 Oktober 1992 dalam usia 80 tahun. Beliau adalah cendekiawan, politikus, ilmuwan Indonesia, guru besar Universitas Gadjah Mada (UGM).

Beliau pernah menjabat Rektor UGM (1961 - 1966), Koordinator Perguruan Tinggi (Koperti) tahun 1966 - 1979, anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) RI (1968 - 1978), dan Menteri Pekerjaan Umum (1950 - 1951).

Semasa karier, setelah lulus dari AMS Salemba di Jakarta tahun 1934, Herman Johannes melanjutkan pendidikannya ke Technische Hoogeschool te Bandoeng (THS) pada tahun akademik 1934 - 1935. 

Pada bulan Juni 1939 beliau sudah lulus tahap candidaat-ingenieur (lulus tingkat III) dan tinggal menyelesaikan tingkat IV – tahap keinsinyurannya, yang jika lancar dapat ditempuh dalam satu tahun untuk mencapai gelar civiel-ingenieur-insinyur sipil, namun dengan jatuhnya Hindia Belanda pada tanggal 8 Maret 1942 THS Bandung ditutup, sehingga studinya terpaksa terhenti.

Tahun 1944 Jepang membuka kembali sekolah ini dengan nama Bandung Kogyo Daigaku (BKD), setelah proklamasi kemerdekaan tahun 1945 BKD diubah menjadi Sekolah Tinggi Teknik (STT) Bandung yang kemudian hijrah ke Yogyakarta menjadi Sekolah Tinggi Teknik Bandung di Yogyakarta di awal tahun 1946.

Sekitar bulan Oktober 1946 Herman Johannes menyelesaikan studinya di STT Bandung di Yogya yang kemudian menjadi cikal bakal Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada di mana beliau termasuk salah satu perintisnya.


Herman Johannes banyak mengabdikan dirinya kepada kepentingan negara dan bangsanya, terutama rakyat kecil. Hingga menjelang akhir hayatnya beliau masih melakukan penelitian yang menghasilkan kompor hemat energi dengan briket arang biomassa.

Keprihatinannya akan tingginya harga minyak bumi selalu mendorongnya untuk mencari bahan bakar alternatif yang bisa dipakai secara luas oleh masyarakat.

Herman Johannes pernah meneliti kemungkinan penggunaan lamtoro gung, nipah, widuri, limbah pertanian, dan gambut sebagai bahan bakar.

Meski lebih banyak dikenal sebagai pendidik dan ilmuwan, Herman Johannes tercatat pernah berkarier di bidang militer.

Tanggal 4 November 1946 Herman Johannes menerima Surat Perintah yang ditadatangani Kapten (Kavaleri) Soerjosoemarno (ayah dari Yapto Soerjosoemarno) yang mengatasnamakan Kepala Staf Umum Kementerian Keamanan Rakyat Letjen Urip Sumohardjo, yang isinya agar segera hadir dan melapor ke Markas Tertinggi Tentara di Yogyakarta. Ternyata Herman Johannes diminta membangun sebuah laboratorium persenjataan bagi TNI, karena pemerintah Indonesia saat itu sedang mengalami krisis persenjataan. Permintaan ini diterimanya dengan satu syarat, yakni jika laboratorium itu sudah bisa berdiri dan berproduksi, maka penanganannya harus dilanjutkan orang lain sebab Herman Johannes ingin melanjutkan kariernya di bidang pendidikan.

Di bawah pimpinan Herman Johannes, Laboratorium Persenjataan yang terletak di bangunan Sekolah Menengah Tinggi (SMT) Kotabaru ini selama perang kemerdekaan berhasil memproduksi bemacam bahan peledak, seperti bom asap dan granat tangan.

Keahlian Herman Johannes sebagai fisikawan dan kimiawan ternyata berguna untuk memblokade gerak pasukan Belanda selama clash I dan II.

Bulan Desember 1948, Letkol Suharto sebagai Komandan Resimen XXII TNI yang membawahi daerah Yogyakarta meminta Herman Johannes memasang bom di jembatan kereta api Sungai Progo. Karena beliau menguasai teori jembatan saat bersekolah di THS Bandung, Johannes bisa membantu pasukan Resimen XXII membom jembatan tersebut.

Januari 1949, Kolonel GPH Djatikoesoemo (Jatikusumo) meminta Herman Johannes bergabung dengan pasukan Akademi Militer di sektor Sub-Wehrkreise 104 Yogyakarta. Dengan markas komando di Desa Kringinan dekat Candi Kalasan, lagi - lagi Herman Johannes diminta meledakkan Jembatan Bogem yang membentang di atas Sungai Opak. Jembatan akhirnya hancur dan satu persatu jembatan antara Yogya - Solo dan Yogya - Kaliurang berhasil dihancurkan Johannes bersama para taruna Akademi Militer. Aksi gerilya ini melumpuhkan aktivitas pasukan Belanda sebab mereka harus memutar jauh mengelilingi Gunung Merapi dan Gunung Merbabu melewati Magelang dan Salatiga untuk bisa masuk ke wilayah Yogyakarta.

Pengalamannya bergerilya membuat Herman Johannes juga ikut serta dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 yang menyerbu kota Yogyakarta di pagi buta dan bisa menduduki ibukota Republik selama enam jam.

Herman Johannes juga menjadi saksi sumbangan Sri Sultan Hamengkubuwono IX kepada perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Bersama Letnan Soesilo Soedarman dan Letnan Djajadi, Mayor Johannes pernah bertugas ke Wedi, Klaten, untuk melakukan koordinasi perjuangan. Mereka bertiga berangkat memakai seragam baru hadiah dari Sultan Yogya. Sultan pun memberi gaji seratus rupiah Oeang Republik Indonesia (ORI) setiap bulan kepada para taruna Akademi Militer.

Dalam sebuah makalahnya Herman Johannes pernah mengemukakan bahwa Sri Sultan dan Paku Alam bersama Komisi PBB menjemput para gerilyawan masuk kota Yogyakarta pada 29 Juni 1949. Pasukan Akademi Militer masuk kota dari arah Pengok dan dijemput langsung Paku Alam VIII, dan Herman Johannes kemudian harus berpisah dengan teman - teman seperjuangannya utuk kembali ke dunia pendidikan.

Jasanya di dalam perang kemerdekaan membuat Herman Johannes dianugerahi Bintang Gerilya pada tahun 1958 oleh Pemerintah RI.

Herman Johannes mendapat anugerah gelar Pahlawan Nasional dari Presiden SBY dalam rangka peringatan Hari Pahlawan 2009.