Pong Tiku





Pong Tiku lahir di Pangala, Toraja, Sulawesi Selatan pada tahun 1846 dan wafat pada tanggal 10 Juli 1907 dalam usia 61 tahun.

Sebagai anak seorang pemimpin adat yang mempunyai pengaruh besar di Pangala dan daerah sekitarnya, Pong Tiku sering diajak sang ayah untuk menghadiri pertemuan dengan para pemimpin adat lainnya. Maksud pertemuan tersebut adalah untuk membahas segala hal yang berhubungan dengan masalah kemasyarakatan.

Karena seringkali mendampingi sang ayah ketika menjalankan perannya sebagai pemimpin adat, kemampuan kepemimpinan Pong Tiku pun semakin terlihat.

"Kemerdekaan merupakan hak asasi setiap manusia. Oleh karena itu, kemerdekaan layak diperjuangkan meskipun nyawa menjadi taruhannya. Hidup bukan hanya kesempatan, melainkan juga pilihan". Itulah sebaris kalimat yang menggambarkan keteladanan seorang pejuang asal Sulawesi bernama Pong Tiku alias Ne’baso. Beliau memilih hidup merdeka dan bermartabat daripada sekadar menjadi pecundang dengan takluk menyerah kalah terhadap Belanda.

Saat terjadi konflik bersenjata yang melibatkan Pangala dan daerah Baruppu beliau mengambil alih kepemimpinan pasukan dari ayahnya yang sudah memasuki usia senja.

Selanjutnya pada tahun 1898 beliau terlibat dalam "Perang Kopi". Dinamakan perang kopi karena Toraja sebagai penghasil kopi yang bermutu tinggi menjadi rebutan para penguasa daerah di sekitarnya. Dalam peperangan itu Pong Tiku berhadapan dengan pasukan Bone, namun pada akhirnya peperangan antara Pangala dan Bone dapat diselesaikan dengan damai.


Berkaca dari pengalamannya ketika terlibat dalam Perang Kopi, Pong Tiku kemudian mulai menyadari bahwa beliau harus memperkuat pertahanan daerahnya, yakni dengan memanfaatkan kopi sebagai alat barter untuk memperoleh senjata. Benteng - benteng pun mulai dibangunnya di tempat yang dianggapnya strategis, yakni di atas bukit - bukit karang yang terjal sehingga sulit dicapai oleh pihak lawan. Salah satu benteng yang kuat itu bernama benteng Buntubatu.

Selain memperkuat pertahanan daerahnya dengan memperbanyak persenjataan dan membangun benteng beliau juga menjalin persahabatan dengan para penguasa lain di Toraja.

Persiapan yang telah dilakukan itu memang sangat berguna di kemudian hari ketika harus menghadapi gempuran Belanda. Seperti pada saat Belanda melancarkan ekspedisi militer guna menaklukan kerajaan - kerajaan di Sulawesi Selatan yang tidak mau mengakui kekuasaan mereka, ekspedisi militer tersebut terjadi pada tahun 1905. Saat itu sejumlah kerajaan berhasil ditaklukkan, seperti Kerajaan Bone dan Kerajaan Gowa. Masih di tahun yang sama di bulan September, menyusul Datu Luwu yang terpaksa mengakui kekuasaan Belanda.

Kemudian komandan militer Belanda di Palopo, yang merupakan ibu kota Luwu mengirim surat kepada Pong Tiku yang meminta agar Pong Tiku melaporkan diri di Rantepao dan menyerahkan semua senjatanya kepada Belanda. Karena tekad Pong Tiku sudah bulat untuk terus memperjuangkan kemerdekaan bagi rakyatnya, tentu saja permintaan tersebut ditolaknya. Akibat penolakan itu, pecahlah perang antara Belanda dan Pong Tiku. 

Pada tanggal 12 Mei 1906, Belanda mulai melancarkan serangan pertamanya ke Pangala, namun serangan itu gagal. Masih di tahun yang sama, tepatnya di awal Juni 1906, kegagalan kembali diterima Belanda ketika melakukan penyerangan terhadap benteng Buntuasu.

Dua kegagalan itu membuat Belanda menambah jumlah pasukan dan persenjataannya. Blokade pun dilakukan untuk mencegah masuknya logistik terutama air ke dalam benteng - benteng Pong Tiku. Untuk menahan serangan Belanda, kondisi alam di daerah Toraja yang berbukit - bukit pun ikut dimanfaatkan pasukan Pong Tiku. Batu-batu berukuran besar digelindingkan bila pasukan Belanda berusaha memanjat bukit - bukit karang menuju benteng. Air cabaipun digunakan untuk menghalau pasukan Belanda yang berhasil mendekati dinding benteng. Akan tetapi, Belanda yang berbekal peralatan perang yang jauh lebih lengkap menyebabkan peperangan tak seimbang. 

Pasukan Pong Tiku pun lebih banyak menderita kerugian, gempuran meriam yang secara bertubi - tubi merusak bangunan benteng. Pong Tiku pun terpaksa mengosongkan beberapa benteng, sedangkan benteng Buntubatu yang merupakan benteng utama sekaligus markas Pong Tiku belum berhasil dikuasai Belanda sampai bulan Oktober 1906.


Belanda kemudian menawarkan perdamaian kepada Pong Tiku, namun tawaran itu ditolaknya dan hanya bersedia mengadakan gencatan senjata. Hal itu bertujuan agar beliau dapat menghadiri upacara pemakaman jenazah orang tuanya secara adat. Oleh karena itu beliau pun meninggalkan benteng Buntubatu. Kesempatan itu langsung digunakan pihak Belanda untuk memasuki benteng tersebut meskipun masa gencatan senjata belum berakhir.

Seusai menghadiri pemakaman jenazah orang tuanya, Pong Tiku kemudian menuju benteng Alla, disana telah berkumpul para pejuang dari berbagai daerah di Sulawesi Selatan. Benteng Alla pun diserang Belanda pada tanggal 12 Maret 1907, akibat serangan itu puluhan pejuang gugur dan ditawan. Namun, Pong Tiku berhasil menyelamatkan diri, dalam pelariannya dari satu tempat ke tempat lain beliau terus berusaha mengobarkan semangat perjuangan melawan Belanda.

Belanda masih terus melakukan pengejaran hingga akhirnya Pong Tiku berhasil ditangkap di Lilikan pada awal bulan Juli 1907. Setelah berhasil ditangkap  kemudian dipaksa untuk menandatangani surat pernyataan yang isinya mengakui kekuasaan Belanda. Meskipun berada dalam tekanan Pong Tiku tetap menolak menandatangani surat tersebut, karena terus menerus melawan dan menolak bekerjasama, Pong Tiku pun ditembak mati Belanda di tepi Sungai Sa’dan. 

Kematian Pong Tiku sekaligus menandai berakhirnya perlawanan terhadap Belanda di Toraja. Toraja merupakan daerah terakhir di Sulawesi Selatan yang jatuh ke tangan Belanda.

Atas jasa - jasa beliau kepada negara, Pong Tiku alias Ne’baso dianugerahi gelar Pahlawan Nasional berdasarkan SK Presiden Republik Indonesia No.73/TK/Tahun 2002, tanggal 6 November 2002.