Andi Sultan Daeng Radja





Haji Andi Sultan Daeng Radja lahir di Matekko, Gantarang,  Bulukumba pada tanggal 20 Mei 1894 dan wafat di Rumah Sakit Pelamonia Makassar, Sulawesi Selatan pada tanggal 17 Mei 1963 dalam usia 68 tahun.

Beliau adalah seorang tokoh kemerdekaan Indonesia dan Pahlawan Nasional dari Sulawesi Selatan. 

Beliau adalah putra pertama pasangan Passari Petta Tanra Karaeng Gantarang dan Andi Ninong. Semasa muda, Sultan Daeng Radja dikenal taat beribadah dan aktif dalam kegiatan Muhamamadiyah, beliau merupakan pendiri Masjid Tua di Ponre yang pada jamannya terbesar di Sulawesi Selatan. Semasa hidupnya Andi Sultan Daeng Radja memiliki empat istri dan 13 anak.

Tahun 1902, Sultan Daeng Radja masuk sekolah Volksschool (Sekolah Rakyat) tiga tahun di Bulukumba. Tamat dari Volksschool beliau melanjutkan pendidikannya ke Europeesche Lagere School (ELS) di Bantaeng.

Selesai mengenyam pendidikan di ELS, Sultan Daeng Radja melanjutkan pendidikannya di Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA) di Makassar.

Setelah menyelesaikan pendidikannya di OSVIA pada tahun 1913, Sultan Daeng Radja yang saat itu masih berusia 20 tahun diangkat menjadi juru tulis kantor pemerintahan Onder Afdeeling Makassar. Bebeberapa bulan kemudian beliau diangkat menjadi calon jaksa dan diperbantukan di Inl of Justitie Makassar.

Tanggal 7 Januari 1915 diangkat menjadi Eurp Klerk pada Kantor Asisten Residen Bone di Pompanua. Selanjutnya beliau dipindahkan lagi ke Kantor Controleur Sinjai sebagai Klerk, dari Sinjai ditugaskan ke Takalar dan mendapat jabatan wakil kepala pajak. Selanjutnya ditugaskan ke Enrekang dengan jabatan kepala pajak. 


Tahun 1918 beliau ditugaskan sebagai Inlandsche Besteur Asistant di Campalagian, Mandar.

Tanggal 2 April 1921, pemerintah mengeluarkan surat keputusan mengangkat Sultan Daeng Radja menjadi pejabat sementara Distrik Hadat Gantarang menggantikan Andi Mappamadeng Daeng Malette yang mengundurkan diri karena tidak bisa bekerjasama lagi dengan pemerintah kolonial Belanda. Pengunduran diri Andi Mappamadeng tersebut hingga kini masih menjadi kontroversi, sebab Andi Mappamadeng Daeng Malette merupakan sepupu satu kali dari Sultan Daeng Radja. Pada waktu itu pula, Sultan Daeng Radja mendapat kepercayaan menjadi pegawai pada kantor Pengadilan Negeri (Landraad) Bulukumba.

Kembalinya Andi Sultan Daeng Radja ke Bulukumba, mendorong Dewan Hadat Gantarang (Adat Duapulua) mengadakan rapat memilih calon kepala adat. Rapat tersebut kemudian memutuskan Andi Sultan Daeng Radja menjadi Regen (Kepala Adat) Gantarang. Jabatan ini diembannya hingga pemerintahan Belanda menyatakan pengakuannya atas kedaulatan Republik Indonesia.

Tahun 1930, Andi Sultan Daeng Radja mendapat kehormatan menjadi Jaksa pada Landraad Bulukumba.

Setelah proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945, pemerintah NICA menuduh Andi Sultan Daeng Radja terlibat dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan RI sehingga beliau tidak lagi digunakan sebagai pejabat pemerintah. NICA kemudian menahan dan mengasingkan Sultan Daeng Radja ke Menado, Sulawesi Utara.

Tanggal 8 Januari 1950, setelah Konferensi Meja Bundar (KMB) dan pengakuan kedaulatan RI oleh Pemeritah Belanda, Sultan Daeng Radja kemudian dibebaskan oleh Belanda dan kembali ke Bulukumba. 

Pada 1 Juli 1950 Andi Sultan Daeng Radja mundur dari jabatannya sebagai Kepala Adat Gantarang dan digantikan oleh putranya Andi Sappewali Andi Sultan. Setelah mundur dari jabatannya selaku Kepala Adat Gantarang, Menteri Dalam Negeri berdasarkan Surat Keputusan tertanggal 11 Juni 1951 mengangkatnya menjadi bupati pada kantor Gubernur Sulsel.

Tanggal 4 April 1955 beliau ditugaskan sebagai Bupati Daerah Bantaeng dan diangkat menjadi pegawai negeri tetap.


Tahun 1956, Sultan Daeng Radja diangkat menjadi residen diperbantukan pada Gubernur Sulsel sesuai keputusan presiden. Setahun kemudian diangkat menjadi Anggota Konstituante.

Andi Sultan Daeng Radja wafat pada 17 Mei 1963 di Rumah Sakit Pelamonia Makassar dalam usia 70 tahun.

Andi Sultan Daeng Radja dianugerahi gelar Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan SK Presiden Republik Indonesia No. 085/TK/2006, 3 November 2006.