Ilyas Yakub




H. Ilyas Ya’kub (Ilyas Yacoub) lahir di Asam Kumbang, Bayang, Pesisir Selatan pada tanggal 14 Juni 1903 dan wafat di Koto Barapak, Pesisir Selatan, Sumatera Barat pada tanggal 2 Agustus 1958 dalam usia 55 tahun.

Putra ketiga dari empat bersaudara dari pasangan suami - isteri Haji Ya’kub dan Siti Hajir. Ilyas Ya’kub masa kecilnya belajar ilmu agama dengan kakeknya Syeikh Abdurrahman. Pada masa itu Bayang (daerah kelahirannya) masih merupakan sentra pendidikan Islam. Sebab sejak dahulu Bayang termasuk basis pengembangan Islam di Pantai Barat Sumatera berpusat di surau tua didirikan (awal 1666) oleh Syeikh Buyung Muda Puluikpuluik, salah seorang dari 6 ulama pengembang Islam di Indonesia seangkatan Syeikh Burhanuddin Ulakan Pariaman belajar dengan Syeikh Abdul Rauf Singkel di Aceh.

Saat berkobarnya Perang Pauh (mulai 28 April 1666) surau ini juga menjadi basis perjuangan melawan Belanda. Bayang sejak lama menjadi basis konsentrasi perjuangan rakyat Sumatera Barat melawan Belanda, tercatat perang Bayang berlangsung lebih satu abad (mulai 7 Juni 1663, berakhir dengan Perjanjian Bayang 1771).

Sejak itu Bayang melahirkan banyak ulama besar yang menjadi pejuang kemerdekaan dan agama Islam di pentas sejarah nasional, di antaranya Syeikh Muhammad Fatawi, Syeikh Muhammad Jamil (tamatan Makkah 1876), Syeikh Muhammad Shamad (wafat di Makkah tahun 1876), Syeikh Bayang (Syeikh Muhammad Dalil bin Muhammad Fatawi (1864 - 1923) penulis buku taraghubil rahmatillah yang oleh BJO Schrieke disebut sebagai kepustakaan pejuang abad ke - 20 yang penuh moral, juga Syeikh Abdurrahman (kakek Ilyas Ya’cub), Syeikh Abdul Wahab (Inyiak Kacuang) dll.

Ayah Ilyas Ya’kub seorang pedagang kain dan hidup di lingkungan ulama cukup memberi peluang dana dan motivasi bagi Ilyas Ya’kub untuk mengecap pendidikan lebih baik.

Pertama beliau mendapat pendidikan di Gouvernements Inlandsche School. Tamat sekolah bekerja sebagai juru tulis selama dua tahun (1917 - 1919) di perusahaan tambang batu bara Ombilin Sawahlunto Sijunjung. Beliau keluar dari perusahaan itu sebagai protes terhadap pimpinan perusahaan asing yang imperialisme dan kolonialisme yang kasar terhadap kaum buruh pribumi.

Sebagai konvensasi Ilyas Ya’kub memperdalam ilmu agama,Ilyas Ya’kub kemudian belajar dengan Syekh Haji Abdul Wahab (Raichul Amar dalam Edwar, ed. 1981, baca juga skripsi Nirmawati, 1984).

Gurunya (juga ayah dari isterinya Tinur) ini melihat Ilyas Ya’kub berbakat, lalu dibawa ke Mekah. Ketika berada di tanah suci selesai menunaikan ibadah haji, Ilyas berminat untuk menetap di sana guna memperdalam ilmu agamanya.

Tahun 1923 beliau punya kesempatan ke Mesir, di sana mememasuki sebuah universitas mulanya sebagai thalib mustami’ (mahasiswa pendengar).


Beliau pernah memimpin mahasiswa Malaysia - Indonesia di Mesir, juga pendiri Partai Politik PERMI (Persatuan Muslim Indonesia, 1932) berbasis pada lembaga - lembaga pendidikan Islam di Indonesia.

Di awal kemerdekaan (1948) beliau dipercaya pada negeri yang Islam dan semangat melayunya kuat sebagai Ketua DPR Provinsi Sumatera Tengah merangkap penasehat Gubernur.

Sebenarnya banyak perjuangan Ilyas Ya’kub yang tidak tercatat secara syumul, mulai sejak masa awal beliau bekerja di Perusahaan Asing (Belanda) yakni Tambang Batubara di Sawah Lunto, masa pendidikan di Mesir pasca Mekah (8 tahun), masa bergerak di PERMI diperkuat tabloid Medan Rakyat serta hubungannya dengan tokoh politik, masa konsolidasi ideologi gerakan Islam dan Kebangsaan mewujudkan kemerdekaan Indonesia yang beresiko tinggi pada dirinya masuk penjara keluar penjara penjajah dari satu daerah pengasingan ke daerah pengasingan lainnya di dalam dan luar negeri (13 tahun), sampai beliau mengabdi kepada Republik bekerja di badan legislatif.

Namun beliau telah memenuhi ajakan ‘isy karima wa mut syahida (hidup sebagai orang mulia dan wafat meninggalkan jasa) adalah jasa kepada Islam dan kebangsaan, turut memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia.

Di akhir hayat yang husnul - khatimah itu Ilyas Ya’kub menghembuskan napas terakhir Sabtu, 2 Agustus 1958 jam 18.00 wib, beliau meninggalkan 11 orang anak, antara lain putranya Anis Sayadi, Fauzi (satu di antaranya yang menulis riwayat hidup singkat tokoh ini) dll.

Kesaksian kebesaran perjuangannya dikukuhkan sebagai pahlawan perintis kemerdekaan RI dengan SK Mensos No. Pol-61/PK/1968, 16 Desember 1968, mendapat piagam penghargaan sebagai pejuang kemerdekaan Republik Indonesia sejak 17 Agustus 1975.

Kepahlawanannya dikukuhkan kembali dengan Keputusan Presiden RI (Kepres-RI) Nomor 074/TK/Tahun 1999 tanggal 13 Agustus 1999 serta dianugerahi tanda kehormatan Bintang Mahaputra Adipradana atas jasanya mempertahankan prinsip - perinsip kemerdekaan dari ancaman kolonialisme Belanda sekaligus menggerakkan kemerdekaan RI dengan resiko dibuang Belanda ke Digul (Papua) serta beberapa tempat di Malaysia, Singapura, Brunei, Australia, di samping memperjuangkan Partai dan Pendidikan Islam.

Kebesarannya dihargai Negara dan oleh Pemerintahan Kabupaten setiap bulan diberikan bantuan kesejahteraan sejumlah uang tunai kepada keluarga Pahlawan Nasional ini ditetapkan dengan SK Bupati Nomor 400-134/BPT-PS/2005 tanggal 2 Januari 2005.

Kepahlawanan Ilyas Ya’kub juga diabadikan dengan pemberian namanya kepada gedung olahraga dan jalan serta dibangun sebuah patung di perapatan jalan di gerbang kota Painan, Pesisir Selatan, Sumatera Barat (Indonesia).

Makamnya di depan mesjid raya Al-Munawarah Koto Barapak, Bayang, Pesisir Selatan, Sumatera Barat juga menjadi saksi bisu kebesarannya dalam Islam dan Kebangsaan.