Sukarjo Wiryopranoto




Sukarjo Wiryopranoto (Sukardjo Wirjopranoto) lahir di Desa Kasugihan (kurang lebih 20 km dari Cilacap), Jawa Tengah pada tanggal 5 Juni 1903 dan wafat di New York pada tanggal 23 Oktober 1962 dalam usia 59 tahun.

Sukarjo adalah putra Bapak Wiryodiharjo (Wirjodihardjo) yang bekerja pada Jawatan Kereta Api pada zaman Hindia - Belanda. Ibunya berasal dari Purwokerto, keturunan seorang alim ulama bernama Kyai Asmadi.

Beliau adalah anak keenam dari tujuh orang  bersaudara. Ketika Sukarjo berumur tiga tahun ayahnya meninggal dunia. Oleh karena itu seluruh tanggung jawab untuk membesarkan putra - putrinya terletak pada Ibunya. Dengan tekun beliau mengatur rumah tangga, memanfaatkan harta peninggalan suaminya berupa ladang dan sawah yang tidak pula besar jumlahnya. Ibunya adalah seorang ibu yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, cermat, teguh dan bercita-cita tinggi, terutama dalam memajukan dan mencerdaskan putra - putrinya. 

Kakak - kakak Sukarjo mengecap pendidikan HIS, sedangkan Sukardjo yang paling dekat dengan ibunya (sebab adiknya meninggal setelah dilahirkan) belajar pada ELS (Europesche Lagere School) sama dengan SD berbahasa Belanda. Mereka berangkat pada waktu subuh ke sekolah dengan naik kereta api setiap hari dan pulang sudah agak sore.

Semasa kecilnya Sukarjo suka bercerita dan bermain, gemar berkumpul dengan teman - temannya. Beliau termasuk anak yang cerdik, pandai bergaul, karena itu banyak kawan. Di sekolah beliau tidak canggung bergaul dengan kawan - kawannya yang berkulit putih. Sedangkan di kampung Sukarjo juga mudah bermain bersama anak - anak tetangganya. Sukardjo adalah seniman musik, perawakannya tinggi - besar, selalu berpakaian rapi dan murah senyum.

Pada tahun 1917 Sukardjo lulus ELS, kemudian melanjutkan pendidikan di sekolah Hukum (Rechts School) di Jakarta. Lima tahun kemudian beliau sudah lulus sekolah hukum dan mulai bekerja sebagai pegawai negeri, mula - mula bekerja di Pengadilan Negeri Purwokerto. 

Pada usia 22 tahun beliau menikah dengan saudara sepupunya, Siti Katijah. Dari perkawinannya ini lahir seorang putra bernama Priono. Kemudian Sukarjo juga menikah untuk kedua kalinya dengan Umaryani setelah bercerai dengan Siti Katijah.

Pada tahun 1926 Sukajo di pindahkan ke Magelang, tetapi hanya untuk waktu 40 hari karena suatu peristiwa. Pada suatu sore beliau berjalan - jalan dan berpapasan dengan majikannya, yaitu Kepala Pengadilan Negeri Magelang. Sukarjo sudah hormat tetapi sang kepala menganggap penghormatan beliau kurang memadai. Kepala Pengadilan Negeri bersikap tidak senang dan Sukardjo merasa diperlakukan tidak adil, oleh sebab itu Sukardjo dipindah ke Lumajang, ketika itu sedang terjadi pemberontakan PKI tahun 1926/1927.

Seorang putra Dr. Muhammad bernama Sun yo ikut ditangkap dan di buang ke Digul. Akibatnya banyak orang yang tidak ingin mendatangi rumah Dr. Muhammad. Keadaan itu merupakan pukulan batin bagi Dr. Muhammad. Sukardjo dapat merasakan penderitaan batin keluarga Dr. Muhammad, oeh karenanya beliau bersama istrinya berkenalan dan mengunjungi Dr. Muhammad dan memberi hiburan untuk menenangkan hati Dr. Muhammad sekeluarga. Perbuatan demikian itu dijamannya membahayakan dirinya, tetapi beliau seorang yang bijaksana.

Sukardjo kemudian dipindahkan ke Malang dan diangkat menjadi anggota Majelis Hakim (Lid van de Lamdraad). Sebagai Anggota Majelis Hakim beliau bekerja tekun dan teliti. Walaupun pangkatnya tinggi, tetapi tetap bersikap tepa selira dan jauh dari sikap sombong serta takabur. Beliau menyadari, bahwa sebagai pegawai negeri bekerja untuk kepentingan pemerintah Kolonial, padahal dalam hati nuraninya ingin mengabdikan dirinya untuk pergerakan nasional.

Pada tahun 1929 beliau keluar dari dinas pemerintahan kolonial Hindia - Belanda dan menceburkan diri dalam pergerakan nasional. Beliau mendirikan kantor pengacara yang diberi nama "Wisynu" untuk menegakkan kebenaran dan melindungi rakyat yang lemah dan masuk menjadi anggota Budi Utomo (BU), kemudian menjadi Ketua Cabang Malang.

Sukarjo Wiyopranoto berusaha menjadi anggota organisasi BU yang baik dan memang patut diteladani. Beliau berpendapat, bahwa organisasi tidak dapat hidup kalau tidak ditunjang oleh anggota yang menyadari tujuan organisasi dan tujuan perjuangan bangsa secara keseluruhan. Karena itu Sukardjo berusaha keras untuk menambah jumlah anggota, mempertebal rasa kebangsaan dan harga diri sebagai bangsa serta percaya pada diri sendiri.

Pada tahun 1937 beliau diangkat menjadi anggota Volksraad (Dewan Rakyat) sebagai wakil Budi Utomo, sejak saat itu menetap di Jakarta. Sebagai angota Volksraad beliau termasuk angota Fraksi Nasional di bawah pimpinan M. H. Thamrin bersama R. P. Suroso, Otto Iskandardinata, Suangkupon dan Moh. Nur yang selalu memperjuangkan kepentingan rakyat dengan kritiknya terhadap pemerintah Kolonial.

Pada zaman perjuangan menuntut parlemen yang sejati atau Indonesia Berparlemen yang dilancarkan oleh GAPI (Gabungan Politik Indonesia), Sukardjo Wiryopranoto mengunjungi berbagai kota sepeti Tanjungkarang, Surabaya, Jakarta, Banjarmasin, Palembang dan Medan untuk menggembleng rakyat.

Pada tahun 1935 Sukardjo Wiryopranoto mengunjungi negara - negara Jepang dan Filipina, beliau terkesan pada Jepang yang telah dapat melepaskan diri dari isolasi dan menjadi negara industri yang besar,  juga pendidikan dan pengajaran di Jepang. Mengenai Filipina, Sukarjo berkata bahwa sejak tanggal 15 November 1935, telah lahir suatu bangsa Filipina baru dengan semangat baru. 

Sukardjo adalah seorang berpandangan modern, beliau berpendapat untuk menguasai ilmu sebanyak - banyaknya diperlukan kemahiran bahasa Inggris. Karena itu bahasa Inggris perlu dipelajari dengan sebaik - baiknya. 

Sukarjo Wiryopranoto adalah seorang yang aktif, terkenal suka bekerja tanpa mengenal waktu, sebelum pekerjaannya selesai beliau belum akan berhenti. Mempunyai sifat tekun, teliti, gesit dan trampil, karena itu pada tahun 1930 pernah pula diangkat sebagai anggota Badan Pemerintah Harian dan Dewan Pemerintah dalam membela kepentingan rakyat, dr. Sutomo yang waktu itu menjadi Ketua Persatuan Bangsa Indonesia (PBI), sangat tertarik kepadanya.

Terhadap Petisi Sutarjo Kartohadikusumo yang terkenal dengan tuntutannya agar Indonesia diberi pemerintahan sendiri dalam lingkungan Kerajaan Belanda, Sukarjo Wiryopranoto tidak menyetujuinya. Beliau berkata "Usul itu tidak ada gunanya, malahan akan melemahkan dan mematikan cita - cita Indonesia Merdeka. Petisi Sutarjo itu berlawanan dengan tujuan perkumpulan politik bangsa Indonesia".

Sukarjo menghendaki bangsa Indonesia yang bersatu, beliau giat pergi daerah - daerah untuk menganjurkan persatuan. Sikapnya terkenal lues, lugas rakyat Jakarta ia akan berbicara dengan menggunakan bahasa rakyat.

Sebaliknya dengan para cerdik pandai beliau pun mampu berkomunikasi dengan tepat dan konstruktif. Sukarjo berpendapat, Para intelektual merupakan inti dari suatu bangsa. Mereka harus memiliki pandangan yang luas, kritis dan kesadaran kebangsaan.

Langkah - Iangkah politik Sukardjo didalam Volksraad antara Iain ialah membela nasib pegawai rendah. Beliau mengajukan mosi agar pemotongan gaji pegawai rendah diturunkan dari 17% menjadi 15%. Beliau peka terhadap situasi dan keadaan masyarakat yang selalu dibawa ke dalam sidang Volksraad dengan mengusulkan agar pengangkatan anggota - anggota Gemeenteraad bagi orang Indonesia disamakan dengan orang Belanda. Beliau juga menghendaki agar orang Indonesia diberi kesempatan untuk menjadi walikota.

Cita - cita Sukardjo itu terlaksana ketika pada tahun 1937 Mr. Dr. Subroto diangkat menjadi Walikota Madiun. Pengangkatan ini menimbulkan kegoncangan dikalangan Bangsa Belanda. Dua tahun kemudian Mr. Subroto bahkan diangkat menjadi Walikota Bogor, sedangkan Mr. Susanto Tirtoprojo menggantikan sebagai Walikota Madiun Ketika Budi Utomo dan PWI dilebur menjadi Partai Indonesia Raya (Parindra) pada tanggal 24 Desember 1935 di Gedung Habiproyo, Surakarta dan Sukardjo Wiryopranoto ditunjuk sebagai salah seorang komisaris dalam Pengurus Besar Parindra.

Kemudian Sukardjo mengetuai Departemen Propaganda. Disamping itu ikut membantu pula berbagai urusan : Urusan Politik, Umum, Bagian Pemilihan, Hubungan Luar Negeri dan Komisi Pers dan mengetuai Sarekat Pekerja.

Sukardjo aktif dalam pendirian dan perjuangan GAPI (Gabungan Politik Indonesia). Pada tahun 1939, GAPI melancarkan perjuangan dengan semboyan "Indonesia Berparlemen". Maksudnya agar Volksraad menjadi Dewan Perwakilan Rakyat yang sebenarnya, di mana pemerintah bertanggung jawab kepadanya. GAPI juga berhasil menyelenggarakan Kongres Rakyat Indonesia di Jakarta dengan keputusan : Bahasa Indonesia ditetapkan menjadi bahasa pergaulan resmi, Lagu Indonesia Raya menjadi lagu kebangsaan dan Bendera merah putih menjadi bendera Indonesia.

Kongres Rakyat Indonesia kemudian (1947) diganti menjadi Majelis Rakyat Indonesia yang berfungsi sebagai badan perwakilan rakyat, dimana Sukardjo Wiryopranoto duduk sebagai salah seorang pemimpinnya.

Sementara itu, Sukardjo sudah menyatakan diri keluar dari Volksraad dan memusatkan pada perjuangan di Majelis Rakyat Indonesia. Beliau mengatakan "Dengan berdirinya Majelis Rakyat Indonesia, maka kita menyusun barisan, memusatkan segala semangat dan tenaga menuju ke Indonesia Berparlemen. Merintis jalan ketujuan Indonesia Berparlemen bisa disamakan dengan suatu strategi akan merebut Kota. Artinya kita akan menggunakan segala tenaga dan kekuatan lahir batin melakukan gugur gunung alias mengadakan mobilisasi, merelakan harta benda, mengikhaskan tenaga, malah kalau perlu sampai juga jiwa kita. Semua putra dan putri Indonesia harus mencari tempat sendiri - sendiri, dimana mereka bisa berjuang dan berjasa (baca : berkorban). Dimana mereka bisa mengabdi kepada Tanah Air".

Pada kesempatan lain Sukardjo berkata "Dengan sikap sama - sama, maka kita akan menjauhkan percekcokan diantara kita, akhirnya kita akan dimakan oleh pihak luar. Maka dari itu, hendaknya kita memperkuat persiapan luar dalam, kiri kanan, muka belakang. Hendaknya kita membuktikan keikhlasan dan kerelaan kita supaya mengerjakan apa yang kita maksudkan ke arah tujuan kita bersama".

Sukarjo Wiryopranoto mula - mula mengusulkan agar K.H. Mas Mansur, ketua pengurus pusat Muhammadiyah waktu itu, diangkat sebagai ketua Majelis Rakyat Indonesia. Tetapi K. H. Mansur berkeberatan, mengingat tugas kewajibanya sebagai ketua MRI sungguh bukan tugas yang ringan. Akhimya Mr. Sartono yang terpilih menjadi ketua Majelis.

Seperti lain - lain pemimpin pergerakan nasional Sukardjo menaruh perhatian besar kepada pemuda - pemuda bangsanya. Justru para pemuda harus mengisi segala bidang kehidupan demi masa depan bangsanya. Sukarjo menuntut agar pemuda - pemuda Indonesia diberi kesempatan untuk menjadi penerbang, bahkan menjadi perwira di kapal - kapal perang. Dan dalam kalangan marinir pemuda - pemuda kita harus diberi tempat dan kesempatan. Sukardjo juga menganjurkan agar para pemuda terpelajar ikut bertransmigrasi ke luar Jawa, khususnya ke daerah Lampung.

Pengiriman para Kolonist terpelajar ini adalah suatu kejadian yang di sebut historisch gebeuren (tonggak sejarah), satu hal yang pertama - tama dikerjakan. Sudah tentu kita akan bertemu dengan beberapa kesukaran dan kekurangan, akan tetapi tinggalah kita berpegang kuat pada semboyan "Kita maju terus, berjalan terus, bekerja terus".

Masalah pengangguran yang mengancam hari depan pemuda kita, juga mendapat perhatian besar dari Sukarjo, beliau bertindak dan akan mendirikan sebuah panitia bernama : Menuju Memberantas Pengangguran Pemuda (MMPP) di kota Malang. Panitia ini bertujuan untuk melatih pemuda pengangguran sehingga menjadi tenaga terampil, dibidang pertanian dan pertukangan, seperti tukang kayu, pandai besi, tukang cukur, tukang listrik, montir mobil, tenaga pembukuan, stenografi, pembuat keramik dan sebagainya.

Dalam Kongres Bahasa Indonesia Pertama di Surakarta pada tanggal 26 Juni 1938, Sukarjo menjadi penasehat. Antara lain beliau berkata "Bahasa Indonesia akan musnah, jika anak buminya tidak mempergunakan lagi bahasanya, yaitu bahasa Indonesia. Salah satu syarat untuk meninggikan derajat Bangsa dan Nusa ialah memperkokoh Bahasa Indonesia". Di samping berpidato dan berbicara, Sukardjo juga berjuang di bidang pers dengan memimpin per-suratkabaran dan menulis artikel, perhatiannya terhadap pers memang besar. 

Pada tahun 1932 dalam Kongres Indonesia Raya ke-1 di Surabaya Sukarjo membawakan pidato yang berjudul "Susunan Negeri, Perhubungannya dengan Kemerdekaan Pers".

Sebagai ketua Departemen Pers dan Propaganda Parindra Sukarjo telah mengusahakan penerbitan harian Berita Umum di Jakarta dengan pimpinan redaksi Winarno. Harian ini terbit sampai dengan jatuhnya Hindia - Belanda.

Pada zaman pendudukan Jepang dengan dilarangnya partai - partai politik, Sukarjo memusatkan perhatiannya kepada jurnalistik. Beliau memimpin surat kabar Asia Raya yang mempunyai oplah terbesar waktu itu.

Sukarjo Wiryopranoto diangkat pula menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha - usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) atau Dokuritsu Junbi Cosakai.

Pada tahun 1943 beliau diangkat menjadi ketua muda Jawa Shinbun Kai, yaitu gabungan atau perserikatan surat kabar di Jawa.

Sesudah Indonesia merdeka beliau menjadi anggota Yayasan Dharma yang menerbitkan majalah Mimbar Indonesia di Jakarta. Majalah M.I. itu menjadi salah satu benteng pertahanan Republik Indonesia di Jakarta yang sudah diduduki Belanda. Sebelum Agresi Militer II (Desember 1948), Sukarjo Wiryopranoto ditangkap Belanda di Jakarta dan di usir serta dikirim ke Yogyakarta, karena majalah Mimbar Indonesia di anggap berbahaya bagi politik Belanda. Setelah M. I. diizinkan terbit kembali pada bulan Pebruari 1949, beliau kembali ke Jakarta.

Sesudah Proklamasi Kemerdekaan Sukarjo Wiryopranoto diangkat sebagai juru bicara Negara dalam Kabinet Syahrir. Kemudian sesudah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia, yaitu pada tahun 1950 beliau diangkat menjadi Duta Besar RI di Vatikan merangkap Duta Besar Luar Biasa RI dan Berkuasa Penuh pada Pemerintah Italia. Kemudian beliau ditarik kambali ke tanah air menjabat kepala Direktorat Asia - Pasifik pada Departemen Luar Negeri.

Selanjutnya beliau ditugaskan menjadi Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh RI pada Pemerintah Republik Rakyat Cina, merangkap kepala perwakilan Diplomatik pada Pemerintah Rakyat Mongolia.

Empat tahun kemudian, pada tahun 1960 Sukarjo diangkat menjadi wakil tetap RI di PBB, beliau sangat sibuk dalam tugasnya itu karena bangsa Indonesia sedang berjuang mengembalikan Irian Barat ke pangkuan Ibu Pertiwi. Ketika bangsa Indonesia berhasil memasukkan Irian Barat ke wilayah RI, Sukarjo Wiryopranoto meninggal pada tanggal 23 Oktober 1962 di New York.

Jenasah Sukarjo Wiryopranoto dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.

Pemerintah RI dengan SK Presiden No. 342/Th.1962 tertanggal 29 Oktober 1962 menganugerahi kepada Sukardjo Wiryopranoto gelar Tokoh Nasional/Pahlawan Kemerdekaan Nasional atas jasa - jasanya pada Nusa dan Bangsa.