Mgr. Albertus Sugiyopranoto, SJ (Soegijo) lahir pada tanggal 25 November 1896 dan wafat pada tanggal 22 Juli 1963 dalam usia 66 tahun. Beliau merupakan Vikaris Apostolik Semarang, kemudian menjadi uskup agung.
Beliau merupakan uskup pribumi Indonesia pertama dan dikenal karena pendiriannya yang pro-nasionalis, yang sering disebut "100% Katolik, 100% Indonesia".
Sugiyo dilahirkan di Surakarta, Hindia - Belanda, dari keluarga seorang abdi dalem, karena diakui sebagai anak yang cerdas, pada tahun 1909 Sugiya diminta oleh Pr. Frans van Lith untuk bergabung dengan Kolese Xaverius, suatu sekolah Yesuit di Muntilan. Di sana Beliau menjadi tertarik dengan agama Katolik dan dibaptis pada tanggal 24 Desember 1910. Setelah lulus dari Xaverius pada tahun 1915 dan menjadi seorang guru di sana selama satu tahun, Sugiyo menghabiskan dua tahun belajar di seminari di Muntilan sebelum berangkat ke Belanda pada tahun 1919. Sugiya menjalani masa pendidikan calon biarawan dengan Serikat Yesus selama dua tahun di Grave dan juga menyelesaikan juniorate di sana pada tahun 1923.
Setelah tiga tahun belajar filsafat di Kolese Berchmann di Oudenbosch beliau dikirim kembali ke Muntilan sebagai guru dan bekerja di sana selama dua tahun.
Pada tahun 1928 beliau kembali ke Belanda untuk belajar teologi di Maastricht dan ditahbiskan pada tanggal 15 Agustus 1931. Setelah itu Sugiyo menambahkan kata "pranata" di belakang namanya.
Pada tahun 1933 Sugiyopranoto dikirim kembali ke Hindia - Belanda untuk menjadi pastor dan memulai keimamannya sebagai vikaris paroki untuk Pr. van Driessche di Paroki Kidul Loji, Yogyakarta, tetapi diberi paroki sendiri setelah Gereja St. Yoseph di Bintaran dibuka pada tahun 1934. Dalam periode ini beliau berusaha untuk meningkatkan rasa ke-Katolikan dalam masyarakat Katolik dan menekankan perlunya hubungan yang kuat antara keluarga Katolik.
Pada tahun 1940 Sugiyopranoto dikonsekrasikan sebagai vikaris apostolik dari Vikariat Apostolik Semarang, yang baru didirikan. Meskipun jumlah pemeluk Katolik meningkat setelah beliau dikonsekrasikan, namun harus menghadapi berbagai tantangan.
Kekaisaran Jepang menduduki Hindia - Belanda pada awal tahun 1942 dan selama periode pendudukan itu banyak gereja diambil alih dan banyak pastor ditangkap atau dibunuh. Sugiyopranoto bisa lolos dari kejadian ini dan menghabiskan periode pendudukan dengan mendampingi orang Katolik dalam vikariatnya sendiri.
Setelah Presiden Sukarno memproklamasi kemerdekaan Indonesia, Semarang dipenuhi dengan kekacauan. Sugiyopranoto membantu menyelesaikan Pertempuran Lima Hari dan menuntut agar pemerintah pusat mengirim seseorang dari pemerintah untuk menghadapi kerusuhan di Semarang. Biarpun permintaan ini ditanggapi, Semarang menjadi semakin rusuh dan pada tahun 1947 beliau pindah ke Yogyakarta.
Selama revolusi nasional Sugiyopranoto berusaha untuk meningkatkan pengakuan Indonesia di dunia luas dan meyakinkan orang Katolik untuk berjuang demi negera mereka. Tidak lama setelah Belanda mengakui kedaulatan Indonesia beliau kembali ke Semarang.
Dalam periode pasca - revolusi beliau banyak menulis mengenai komunisme dan berusaha untuk mengembangkan pengaruh Katolik serta menjadi perantara beberapa faksi politik.
Pada tanggal 3 Januari 1961 beliau diangkat sebagai uskup agung, saat Tahta Suci mendirikan enam provinsi gerejawi di wilayah Indonesia. Sugiyopranoto bergabung dengan sesi pertama dari Konsili Vatikan II.
Sugiyopranoto meninggal pada tahun 1963 di Steyl, Belanda dan jenazahnya diterbangkan kembali ke Indonesia.
Beliau diangkat menjadi Pahlawan Nasional dan di kebumikan di Taman Makam Pahlawan Giri Tunggal, Semarang.